Dr. Soneta Sangsurya Siahaan, S.E.,M.Th
Teologi berkembang dari waktu ke
waktu, hingga abad ke 20 dan awal abad ke-21, dan kita menyebutnya sebagai
Teologi-Teologi Kontemporer. Ada beberapa pengertian atas istilah Teologi
Kontemporer sinonim dengan Teologi Postmodern (*Eta Linnemann, Teologi
Kontemporer: Ilmu atau praduga), 1991. Linnemann mengidentikkan Teologi
Kontemporer dengan Teologi Historis-Kritis dan Teologi Modern, sedangkan Harvie
E.Conn, Teologia Kontemporer (terj) memasukkan sejumlah teologi antara lain
Neo-Ortodoksi, Metode Rudolf Bultmann, Teologi Sekularisasi, Teologi
Pengharapan, Teologi Proses, sampai Neo-Evangelisme, ke dalam rumpun Teologi
Kontemporer.
Apa yang dimaksud dengan Teologi
Modern? Dalam buku The Blacwell Companion to Modern Theology (2007) Gareth
Jones tiba pada kesimpulan:”modern Theology
begins when theologians look beyond the Church for answer of their question and
when new challenges rose to make people think about their faith with renewed
urgency”. Sementara itu, J.C.Livingston berpendapat bahwa
sejarah pemikiran Kristen modern bermula dengan gerakan-gerakan intelektual dan
sosial revolusioner pada abad ke-18 dan 19. Pengaruh kemajuan di bidang iptek,
filsafat, dan penelitian historis atas kekristenan di sepanjang kedua abad ini
sangat kuat dan berlanjut.
Tokoh-tokoh Teologi Modern ini
antara lain Immanuel Kant, D.F.Strauss, J.Voltaire, J.J.Rousseau, F.D.E.
Schliermacher, Albrecht Ritschl, Adolf von Harnack, dan Soren Kierkegaard. Kita
akan melihat satu topik dalam pembuatan makalah ini, yaitu perkembangan dari
Teologi Trinitarian di masa kini.
Pembahasan
Istilah Trinitas merupakan
kreativitas berteologi Bapa-Bapa Gereja dalam memahami relasi ketiga nama itu. Tertullianus (169-220) yang merumuskan iman
sejati akan Allah Trinitas:”una substantia, tres personae; satu substansi,
tiga pribadi (Boff 2004, 55). Hal ini mengacu kepada relasi Allah
ke dalam (ad intra) tiga pribadi itu. Gereja (orang Kristen) telah terlebih
dahulu mempraktikkan pemahaman mereka tentang Allah Tritunggal dalam
liturgi-liturgi, barulah kemudian merumuskannya dalam ajaran-ajaran itu.
Meminjam kata Anselmus, fides quarens
intellectum, kita dapat
mengatakan bahwa gereja berusaha menjelaskan Allah Tritunggal sesuai dengan
kebutuhan sejarahnya, berdasarkan pada apa yang mereka percayai, bukan pada apa
yang mereka pikirkan. Pergumulan utama dalam hal ini adalah bagaimana
menalarkan hakikat Allah yang sedemikian itu dengan penuh tanggung jawab dan
dapat dipertanggungjawabkan untuk mencegah munculnya ajaran sesat.
Dalam hal ini iman mereka mendahului
penalaran mereka. Leonado Boff, dalam buku Allah Persekutuan: Ajaran tentang
Allah Tritunggal (2004),”rumusan paling klasik adalah satu Allah dalam tiga
pribadi, atau satu kodrat tiga rupa, atau Tiga Pribadi yang mencintai dan satu
Cinta, atau tiga Subjek satu Substansi, atau tiga Kenyataan satu persekutuan”
(Boff 2004,vii-viii). Rumusan-rumusan seperti ini menurut Boff tidak lain
merupakan wujud doksologi yang kemudian berubah menjadi refleksi (teologi)
mereka tentang hakikat Allah. Allah yang tiga tetapi tidak terceraikan dan juga
tidak bisa dileburkan menjadi satu. Jadi, refleksi ini berawal dari ke-tiga-an
bukan ke-satu-an.
Percakapan tentang teologi
Trinitarian ini tidak mendapat porsi yang sama dalam wacana teologis setiap
abad. Salah satu Teologi Modern abad ke-19, Friedrich Schliermacher
(1768-1834), memandang bahwa Teologi Trinitarian hanya merupakan apendiks dalam
pemikiran teologi (Marshall, 2004, 184). Percakapan itu menjadi lebih bergairah
lagi setelah Karl Barth dari kalangan Protestan dan Karl Rahner dari kalangan
Katolik menekankan kembali Trinitarian yang esensial dalam bangunan teologi
mereka, dalam memaknai relasi Allah ke dalam (ad intra) maupun ke luar (ad
extra), yang kita kenal sebagai Tritunggal imanen dan Tritunggal ekonomis
(Karkkainen 2013, 8).
Tritunggal imanen menunjuk kepada
relasi di dalam ketiga Pribadi Allah itu sendiri; Tritunggal ekonomis
menandakan bahwa Allah Tritunggal itu aktif dan menyatakan diri dalam
penciptaan, penebusan dan penyempurnaan (eskatologi). Percakapan tentang Allah
Trinitarian pada awal abad ke-21 ini semakin bersemi dalam perbendaharaan
teologi lintas disiplin, seperti sistematika, teologi agama-agama, dan
praktika. Hal ini terkait dengan dua hal sbb :
Ø Upaya
menemukan makna Trinitas dalam sejarah dan relasinya dengan doktrin Kristen
yang lainnya.
Ø Untuk
menggali nilai normative baru, yang bisa menjadi dasar mengonstruksi teologi
yang berwibawa (bahkan melahirkan kanon baru dalam konstruksi Trinitarian).
Leonardo Boff, dalam bukunya Allah Persekutuan (2004)
memaparkan Teologi Trinitarian dalam menjawab penindasan kemanusiaan di Amerika
Latin. Ia melukiskan betapa pentingnya Allah itu adalah Allah Tritunggal. Allah
Tritunggal berarti tiga ketunggalan dipersatukan, berbeda dari Allah yang Esa
yang akan dilanda kesepian. Kalau Allah Bapa saja yang ditonjolkan, seperti
yang ditekankan teolog-teolog Yunani, maka muncullah risiko teogoni, proses
Allah dijadikan. Hal ini akan menguatkan paham tentang pentingnya hierarki,
yang sudah sangat lazim ditekankan dalam model masyarakat Amerika Latin. Teologi Latin menekankan bahwa Allah adalah roh yang
absolute yang berpikir dan mencintai; pengenalan diri yang paling tinggi
disebut Putera, sedangkan cinta yang tak terbatas disebut Roh Kudus. Ini juga
belum bebas dari hierarki, sebab Putera saja yang mampu mempersatukan Allah
dengan Roh Kudus (Boff 2004,x-xi).
Boff
mengusulkan, pemahaman yang lebih sesuai dengan kitab suci yang memberitakan
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Untuk itu, ia mengulang-ulang kata perichoresis
dari perbendaharaan teologi abad ke-6. Boff memahami bahwa dalam perikhoresis
“setiap Pribadi mengandung Kedua Pribadi yang lain, setiap Pribadi meresapi
yang lain, satu tinggal di dalam yang lain dan sebaliknya” (Boff 2004,xii). Ia
mengingatkan supaya persekutuan seperti ini dipahami dalam keabadian, bukan
masing-masing sudah ada, lalu kemudian memasuki persekutuan. “Persekutuan
perokhoresis ini membuka dirinya keluar, mengundang makhluk dan universum untuk
menautkan diri dengan kehidupan ilahi” (Boff 2004,xiii).
Tentang
relevansi Trinitarian dalam konteks Amerika Latin, ia berkata :
·
Pemahaman demikian
tentang misteri Trinitas Mahakudus sangat relevan bagi bagi pengalaman iman
dalam konteks penindasan dan kerinduan akan pembebasan. Mereka yang tertindas
berjuang agar dapat mengambil bagian dan turut menentukan dalam segala bidang
kehidupan, berjuang untuk keadilan dan persamaan, sambil tetap menghargai
perbedaan setiap pribadi dan kelompok; mereka menginginkan suatu persekutuan
dengan kebudayaan dan nilai-nilai lain, persekutuan dengan Allah yang adalah
mahkota sejarah dan makna terdalam dalam hati mereka. Bagi kaum tertindas, yang
memiliki iman, persekutuan Tritunggal antara Tiga Pribadi itu, kesatuan antara mereka
dalam cinta, di dalamnya mereka saling meresapi, dapat menjadi sumber utopi
yang menggairahkan, sebagai model yang secara bertahap mengintegrasikan
berbagai perbedaan. (Boff 2004,xiv)
Konstruksi Leonardo Boff ini memperlihatkan bahwa
Teologi Trinitarian melampaui sekadar prinsip Trinitarian ekonomis dan
Trinitarian imanen yang dikembangkan di Timur dan Barat. Konteks pergumulan
Amerika Latin, yang cenderung terperangkap dalam hierarki masyarakat yang
menindas, melahirkan makna Trinitarian keikutsertaan. Ini bukan hanya sekadar
ajaran Teologi Sistematika, tetapi juga sebuah loncatan ke Teologi Praktika.
Stempel Trinitarian telah mewarnai perbendaharaan ilmu teologi.
Trinitarian
keikutsertaan ini dijabarkan Boff sebagai basis pembebasan sosial yang integral
dalam tiga kata kunci: kehidupan, persekutuan, dan perikhoresis. Kata kunci
kehidupan memperlihatkan bahwa Allah adalah Hidup dan sumber kehidupan.
“Pengejawantahan kehidupan manusia yang paling tinggi dilukiskan sebagai
pengambilan bagian dalam kehidupan ilahi. (Boff.2004, 138).
Karena
kehidupan itu merupakan kodrat Allah sendiri, maka hidup itu sendiri merupakan
hadiah tertinggi dari Allah yang diberi kepada manusia. Oleh sebab itu,
definisi kehidupan harus terus dikaji, bahwa hidup itu bersifat organism,
memiliki dinamika, keseluruhannya rapid an indah, dan bereproduksi. Kata kunci persekutuan berarti bahwa manusia hidup karena
persekutuan dengan Allah, maka ia juga berada dalam dirinya untuk orang lain.
Kata kunci perikhoresis adalah persekutuan saling meresapi, saling menganyam,
jalin menjalin, dan saling menerobos, dinamika inilah yang membuat perbedaan
menjadi kesatuan. (Boff 2004, 138-43, 154).
Teologi
Agama-Agama
Teologi
agama-agama kelihatannya memiliki perkembangan yang luar biasa dalam menyikapi
pluralism dan konflik antar agama. Kita akan melihat dua contoh teolog yang
mengembangkan Teologi Trinitarian dalam locus pluralism beragama. Pertama,
Veli-Matti Karkkainen dalam bukunya
Tritunggal dan Pluralisme Agama (2013, terjemahan dari edisi Inggris yang
terbit 2004). Kedua, Joas Asiprasetya
dalam bukunya An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple Religious
Participations (2013). Buku yang pertama memperlihatkan survey teologi
Trinitarian tentang tantangan pluralism beragama yang mengedepankan dialog
dalam keunikan iman yang Trinitarian, dan buku kedua merupakan konstruksi
imaginative Teologi Trinitarian (perikhoresis) dalam menyikapi pluralism
(multiple) beragama.
Keunikan Iman
Trinitarian
Karkkainen
(2013, 1-3) melihat, ada kesejajaran antara perkembangan pemahaman Teologi
Trinitarian dan Teologi Agama-Agama yang dikembangkan oleh orang-orang Kristen
sejak abad ke-20, yakni membicarakan eksistensi Allah, mengidentifikasi Allah
Alkitab. Keduanya selama sepuluh tahun tidak saling bertemu dalam satu jalan. Oleh
itulah dia membuat survey terhadap pemahaman-pemahaman para teolog dari
berbagai benua, denominasi gereja yang mempercakapkan dialog yang melampaui
kanon Teologi Agama-Agama yang sudah berkembang dalam tipologi rangkap tiga :
eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
Afirmasi
dialog Kristen bagi Karkkainen bertolak dari pemahaman Karl barth
tentang doktrin Trinitas. Ada dua prinsip penting tentang Trinitarian dalam hal
ini:”pertama, Barth membuat doktrin Trinitas sebagai prinsip penstrukturan
dalam teologinya; Kedua, ia menegaskan bahwa apa yang terjadi dalam sejarah
terkait dengan apa yang terjadi di dalam diri Allah Trinitas; dengan demikian,
sejarah dihubungkan kepada keilahian. (Karkkainen 2013, 7).
Dari
semua teolog yang ia seleksi untuk tujuan penulisan bukunya menuju satu Teologi
Trinitas tentang agama-agama, ternyata ia membingkainya dalam dua hal: Pertama,
bahwa iman Trinitarian memiliki potensi dan fungsi kritis dalam dialog dengan
agama-agama lain. Dalam hal ini ia mengutip pandangan Karl Rahner tentang
Tritunggal dan kekristenan anonim. Sudah sangat umum kita kenal pandangan
Rahner yang bertolak dari kehadiran Allah dalam pengalaman manusia ini, bahwa
secara antropologis-teologis manusia memiliki potensi dalam dirinya untuk
mengenal Allah (Karkkainen 2013, 51). Allah telah menyatakan diri-Nya kepada
setiap manusia melalui pengalaman dan keseharian mereka. Kekuatan universalisme
Rahner ini mendorong berkembangnya teologi agama-agama yang bersifat spiritual
(Karkkainen 2013, 62). Kedua, iman Trinitarian sebagai klaim persetujuan
terhadap pluralism. Pada bingkai kedua ini ia memunculkan pandangan John Hick,
Raimundo Panikkar, dan S.Mark Heim.
Karkkainen menyimpulkan bahwa pluralisme harus dilampaui
melalui teologi Trinitarian Kristen, Selanjutnya ia menulis sebagai berikut :
Ø Teologi
Trinataris Kristen yang memperlakukan umat berkeyakinan lain dengan serius dan
terlibat di dalam sesuah dialog yang bermakna, menghargai sejarah dan
perbedaan, mempunyai potensi untuk bergerak melampaui sebuah ekslusivisme yang
berkata tidak kepada dialog tanpa terlibat di dalam dialog dan bergerak
melampaui pluralism yang cenderung menyangkali hak umat berkeyakinan lain untuk
berbeda. Untuk memajukan doktrin Tritunggal klasik, kalim-klaim kebenaran dari
agama-agama harus diberi kesempatan penuh untuk di dengar. Agama-agama termasuk
Kristen, secara dasariah mengeluarkan klaim-klaim kebenaran dengan sebuah
orientasi universal. (Klarkkainen 2013, 275)
Doktrin
Perikhoresis Membangun Teologi Agama-Agama Yang Lebih Konstruktif
Joas
Adiprasetya dalam bukunya (2013) mengembangkan salah satu aspek doktrin
Trinitarian, yakni perokhoresis yang diaplikasikan dalam pluralitas agama.
Tentang perikhoresis ini Adiprasetya menjelaskan:”the
worl perichoresis refers to the mutual indwelling or coinherence of two or more
persons (in the Trinity) our natures (in the person of Christ) or beings (in
the case of God-World relationship), where each interpenetrates the others
without confusions, separation, or division” (Adiprasetya 2013,1).
Dalam
kekayaan pengertian seperti ini, konsep Trinitarian sudah melampaui pemahaman
ekonomis maupun imanen (2013,81). Dari penelitiannya, ternyata konsep ini
termuat juga dalam agama-agama yang lain yang dapat membangun kekayaan dalam
berteologi. Konsep ini lebih lanjut dikembangkan secara imaginative ke dalam
empat dimensi, sebagai berikut :
1. Realitas
yang mempersatukan (unity of Reality); menurut kajian Adiprasetya konsep
perikhoresis membuat hal yang berbeda-beda itu menjadi dua atau tiga, tetapi
memiliki prinsip menjadi satu tetapi bukan monism.
2. Dimensi
khora, yakni gerakan tarian perokhoresis itu harus mengambil ruang, khora.
Pengakuan ruang ini dalam pertemuan dengan agama-agama lain bukan sekadar
membangun ruang bersama tempat untuk berkreasi, tetapi lebih dari itu; misalnya
umat Kristiani dapat semakin kaya untuk memaknai arti kekosongan melalui agama
Buddha.
3. Relasi
personal, dimensi ini membukakan suatu relita bahwa relasi tidak mengakibatkan
seseorang kehilangan personalitasnya. Setiap orang diterima untuk memperkaya
relasi itu sendiri.
4. The
possible, dimensi ini merupakan keunikan di Indonesia. Pemerintah dapat
menentukan 5 kemudian 6 agama resmi dan yang lain digolongkan ke dalam penganut
kepercayaan yang lain. Hal ini membuka kemungkinan kedepan bentuk perikhoresis
yang baru dengan ratusan agama-agama suku di Indonesia (Adiprasetya 2013,
166-73).
Teologi Pastoral
Teologi
Pastoral merupakan teologi relasi membuka kecendrungan baru untuk menambahkan
kanon baru dalam berteologi dalam pelayanan pastoral. Teologi Pastoral tidak
lain merupakan refleksi terhadap kepedulian Allah dan gereja terhadap umat
dalam waktu dan ruang tertentu. Oleh karena itu, semakin terasa bahwa lensa
Trinitarian dibutuhkan untuk memperkaya konstruksi dalam berpastoral. Teologi Pastoral
menemukan paradigma baru dalam berelasi seturut dengan hakikat manusia yang
utuh. Berikut ini, digambarkan dua pemikiran Teolog Pastoral yang mendekati
kanon teologinya dengan Trinitarian.
Pertama,
teolog Australia, Neil Pembroke, dalam bukunya, Renewing Pastoral Practise:
Trinitarian Perpective on Pastoral Care and Counseling (2006). Kedua, teolog
feminis Amerika Utara, Pamela Cooper-White, dalam bukunya Braided Selves:
Collected Essay on Muliplicity, God, and Person (2011).
Pandangan Relasi
Pastoral dam Kerangka Trinitarian
Pembroke (2006, 2) memahami stempel Trinitarian dalam kanon
teologi Pastoralnya dari doktrin perikhoresis (Allah sebagai komunitas) yang
ditandai dengan dua hal:
1. Relasi
sebagai ruang. Dalam hal ini meneladani relasi Allah Trinitarian, dimana ada
closeness and open space. Setiap pribadi tinggal dengan yang lainnya di dalam
kasih, tetapi kalau kita lalai untuk membedakannya, maka kekayaan
Trinitariannya akan hilang, dan hal ini akan membuat percakapan pastoral
menjadi searah tanpa dialog. Kejadian ini akan mengembalikan dominasi pastoral
kepada kemauan sang pastor yang sangat mungkin melahirkan pelayanan pastoral
yang bersifat otoritatif.
2. Hakikat
pelayanan pastoral ialah polyphony, istilah music yang menggambarkan nyanyian
atau bunyi alat musik dua atau lebih yang memainkan melodi secara simultan dan
teratur. Dalam hal ini, perbedaan justru memperindah kesatuan, bukan menjadi
hambatan. Dinamika polyphonic terlihat dalam ketegangan antara hikmat dan
kebodohan, persekutuan, kedekatan, dan keberjarakan. Intinya, dalam dinamika
polyfonik itu dinamika pastoral turut mendengarkan suara the other, suara Allah
yang hadir dalam Roh-Nya. Hal ini merupakan suatu jaminan bahwa pelayanan
pastoral akan mengalirkan air yang hidup ke tengah persoalan-persoalan
kemanusiaan di dunia ini.
Penguatan pelayanan pastoral yang Trinitarian
memperlihatkan relasi pastoral dalam komunitas yang komunikatif. Hal ini
membarui pendekatan pelayanan Pastoral Barat yang cenderung bersifat individual
dan sekadar mencari solusi yang parsial. Trinitarian merupakan praktik pastoral
yang ideal dan lebih utuh.
Dinamika
Trinitarian yang perikhoretik merupakan cerminan persekutuan dalam pelayanan
pastoral dan lagi pula kehadiran Allah dalam persekutuan itu membawa hilmat
dalam pelayanan Pastoral (Pembroke 2006,10). Dengan begitu, Teologi
Pastoral tidak semata-mata mengandalkan psikologis atau antropologis.
Multiplisitas
Dalam Diri Allah Dan Diri Manusia
Premis
utama dalam buku Pamela Cooper-White adalah : baik Allah maupun manusia
keduanya multiple (Cooper-White 2011,2). Premis ini hendak memperlengkapi
teologi Pastoral untuk memahami diri Allah dan diri manusia dan hubungan
keduanya dalam proses pastoral. Cooper-White berkata :
ü If we are willing to explore these multifaceted efforts towards
a multiple concept of God, and corollary construction of mutual,
co-constructive, co-generative yearning between humands and the divine, then we
are led to a pastoral construction of human beings, consciousness, and its construction
in mutual relations (potentially resonating with a variety of faith traditions,
not just orthodox Christianity), and to an human persons as underpinning all
relational approaches to pastoral praxis – through the spectrum of care.
Counseling and psychotherapy (Cooper – White 2011, 123).
Berdasarkan penalaran tersebut diatas, maka dia
mengontruksi Teologi Pastoral Trinitarian sebagai berikut : Pertama, Allah sebagai Yang
Berkelimpahan Kreativitas (God as Creative Profusion). Salah satu
warisan iman yang sangat kuat adalah bahwa Allah dikenal sebagai Pencipta
langit dan bumi beserta isinya. Pemahaman seperti ini sesungguhnya harusnya
lebih dalam lagi, yaitu bahwa Allah berkelimpahan dalam kreativitas-Nya. Gambar
Allah sesungguhnya kreativitas yang tidak terbatas. Dia menciptakan dalam
ke-Mahakuasaan-Nya, langit dan bumi ini dijadikan dalam supernatural-Nya.
Kalau Allah pencipta kita sebut Bapa, maka sesunguhnya
Dia berkenan menerima, mengonfirmasi, dan mencintai kita dalam kompeksitas dan
kontradiksi yang ada dalam diri kita. Teologi seperti ini memiliki resonansi
bahwa manusia tidak ditolak – walaupun dalam pribadinya ada kekacauan, multiple
– kedalamk proses kasih (tidak memisahkan manusia karena ia ada dalam suasana
chaos) dan senantiasa mengasihi dia. Dalam kepedulian Allah inilah dibangun
teologi pastoral (Cooper-White 2011, 125-6).
Kedua,
Allah yang memiliki hasrat untuk berinkarnasi (God as Incarnational Desire).
Allah yang berinkarnasi adalah Allah yang memilih dengan sengaja untuk
mengasihi manusia. Itulah yang menjadi kehendak-Nya. Allah adalah kasih, kuasa
yang erotic terhadap kehidupan yang terpecah dan memerintahkan kebaruan,
perubahan, dan pertumbuhan (Cooper-White 2011,126). Untuk itulah kita mengenal
ungkapan “Imanuel”, Allah beserta kita. Dia bukan di atas kita tetapi turut
masuk ke dalam seluruh daging, darah, dan tulang-tulang kita tiap-tiap hari.
Inilah inkarnasi yang ajaib, bukan sekadar Allah memilih menubuh menjadi
manusia, tetapi lewat penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya Ia menjanjikan
hidup yang transformatif dari kematian kepada kehidupan baru.
Ketiga,
Allah sebagai inspirasi yang Hidup (God as Living Inspiration). Dimensi ketiga
dari Allah Tritunggal ialah Roh Kudus yang dapat dikatakan Napas yang Kudus.
Allah adalah pengatur ritme napas manusia. Oleh karena itu, dalam Alkitab ini
sering digambarkan dengan berbeda-beda; napas, kuasa, energy, dan angin
(Cooper-White 2011, 129). Bagi Cooper-White, hal ini tidak terjadi secara
kebetulan, sebab ketenangan dalam berdoa adalah ketika kita mengatur ritme
napas kita. Dalam doa yang kita yakini Allah hadir, turut peduli, dan mau
bertindak dalam kehidupan kita.
Mengatur ritme napas dalam doa itu berarti kita tidak
sendiri lagi, Cooper-White memberi istilah ec-static (keluar dari tempat kita
berdiri), keluar dari diri kita untuk orang lain.”Kita tidak dapat hidup untuk
diri kita sendiri, melainkan di dalam dan untuk orang lain, ketika Roh
mengaliri sekitar dan keseluruhan kita dan seluruh kehidupan kita menjadi satu
tarian yang besar – dan tarian yang besar itu terjadi ketika kita berbelarasa
terhadap kosmos.” (Cooper-White 2011, 130).
Percakapan tentang Teologi Trinitarian dalam tatanan
umat kelihatannya masih berkutat dalam apologetika terhadap jati diri Allah
sebagai Allah monoteis. Oleh karena itu, Trinitas yang berkembang masih pada
tingkat pemuasan akal, belum kepada pengembangan Teologi Trinitarian yang
berjalan bersama sejarah.
Kelihatannya kata Yunani perichoresis, yang sudah masuk
dalam perbendaharaan Trinitarian sejak zaman Bapa-Bapa Gereja, kini menjadi
koin yang laris dalam mengembangkan loci theologicy. Koin itu menarik untuk
dipercakapkan dalam kehidupan dan pergumulan gereja masa kini. Poin
perikhoresis adalah sebuah lensa teologi yang sangat menekankan relasi,
sehingga dapat membuka pintu dalam persoalan kemanusiaan yang makin pelik.
Dalam sebuah video di Youtube, Paul Lim, seorang teolog Asia – Amerika dari
Vanderbilt University tahun 2014, memberikan ceramah di Cornell University
dengan judul “(Divine) Trinity and (Human) Trafficking”; disitu ia mengulas
bahwa relasi yang bertanggung jawab dalam Trinitarian merupakan cerminan relasi
manusia dalam mengatasi perdagangan manusia.
Kesimpulan
Jadi Trinitarian merupakan
Allah yang satu dan pribadi ini tidak membagi Allah seperti menjadi sepertiga
bagian, akan tetapi merupakan seluruhnya atau sepenuhnya. Bapa merupakan sama
seperti Putera, dan Putera sama seperti Bapa dan Bapa serta Putera merupakan
sama seperti Roh Kudus yakni satu Allah pada kodrat yang sama. Dengan
kestuan ini, maka Bapa sepenuhnya ada dalam Putera dan seluruhnya ada dalam Roh
Kudus. Putera sepenuhnya dalam Bapa dan sepenuhnya dalam Roh Kudus. Roh Kudus
sepenuhnya ada dalam Bapa dan sepenuhnya dalam Putera.
Tiga
pribadi ini berbeda secara nyata yakni dalam hubungan asalnya. Allah Bapa
“melahirkan” Allah Putera yang dilahirkan dan Roh Kudus yang dihembuskan. Tiga
pribadi ini saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain dan perbedaan
dalam asal ini tidak memisahkan kesatuan ilahi, akan tetapi memperlihatkan
hubungan saling timbal balik diantara pribadi Allah tersebut. Bapa
berhubungan dengan Putera, Putera dengan Bapa dan Roh Kudus dengan keduanya dan
hakikat ini adalah satu yakni Allah.
Dengan kasih-Nya yang sempurna tersebut
dalam kehidupan Trinitarian Maha Kudus, Allah merangkul kita supaya menanggapi
panggilan-Nya dan dengan persatuan Allah maka kita sudah mencapai puncak
kehidupan spiritual dimana kita sudah dimampukan oleh Allah untuk mengasihi-Nya
dan juga sesama.
Pustaka
Boff, Leonardo,
2004. Allah Persekutuan: Ajaran tentang Allah Tritunggal (terj.), Maumere:
Ledalero.
Adiprasetya, Joas.
2013. An Imaginative Glimpse: The Trinity and multiple religious
participations. Eugene : Pickwick Publications.
Cooper-White, Pamela.
2011. Braided Selves – Collected essay in Multiplicity, God and person. Eugena,
Oregon: Casade Books
Karkkainen,. 2013.
Tritunggal dan Pluralisme Agama. Doktrin Tritunggal dalam teologi Kristen
tentang agama-agama (terj.) Jakarta, BPK Gunung Mulia
*****