Internasional, May 15, 2013
Doa dan kerja keras Presiden Carter (USA) lima hari di Timur Tengah memperlihatkan hasilnya awal pekan ini. Yaitu Presiden Sadat dan PM Begin menandatangani perjanjian damai Israel dan Mesir di Gedung Outih. Ditengah kemarahan sebagian besar pemimpin negara Arab, Sadat secara resmi mengakui Israel selama 30 tahun menolak kehadirannya lewat 4 perang besar dan menelan banyak jiwa.
Di Washington Sadan dan Begin dieluh-eluhkan sebagai "pahlawan perdamaian". Tapi yang secara langsung menikmati perjanjian damai itu Carter sendiri. Ketika bertolak ke Timur Tengah awal Maret, popularitas Carter sudah melemah hingga cuma 37%. Kebijaksanaan dalam negerinya - inflasi dan pengangguran - dan kegagalannya di Iran secara bersama membuatnya tidak populer.
Dengan nyali yang besar Carter menerobos kemacetan pelaksanaan persetujuan Camp David. Di Mesir ia diterima Sadat yang sangat butuh damai. Di Israel Carter berhasil meyakinkan Begin akan kesempatan bagus kesempatan damai yang tersedia. Para ahli masih belum melaporkan perkembangan terakhit popularutas Carter selepas kunjungannya ke Timur Tengah. Tetapi bisa dipastikan grafiknya bakal menarik.
John Hite, Ketua Komite Nasional Partai Demokrat - dan seorang pendukung Carter berkata pekan silam;"Saya menasehatkan orang-orang Republik itu untuk mencaru isyu baru dalam menyerang Carter. Isyu lama, pemimpin lembek, kini tidak laku lagi." Tim Hagan, seorang tokoh Demokrat dari Ohio bahkan lebih yakin. Spekulasinya:"Carter akan menyingkirkan semua mereka yang berniat memperebutkan kursi kepresidenan pada pemilu mendatang."
Ketika suasana pesta masih meliputi Gedung Putih, awan gelap kemarahan menggantung rendah di Timut Tengah. Pernyataan keras dan kasar beterbangan ke alamat Sadat dan Carter. Para pemimpin Arab saling berkunjung dan berdiskusi mengenai langkah mereka menggalkan Sadat "menjual Palestina kepada Carter dan Begin". Amarah Arab Liga Arab bersidang di Mogadishu ketika Sadat masih dalam perjalanan ke Washington. Disana memang belum diambil keputusan apapun, tetapi bahwa Liga Arab akan memindahkan pusatnya dari Kairo nampaknya tidak merupakan spekulasi lagi.
Di Bagdad pertemuan sedang dipersiapkan. Tapi di Suria bahkan sebelum pesta bermula di Washington, Menlu Adrei Gromyko secara mendadak sudah mendarat. Selama 3 hari pembesar Moskow ini secara amat intensif berunding dengan Presiden Assad dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat. "Kami adalah sahabat Suria dan semua bangsa Arab. Kami disini membicarakan langkah pencegahan pengkhianatan Presiden Sadat kepada bangsa Arab", kata Gromyko. Di Beirut, sepulangnya dari Damaskus, Yasser Arafat menjelaskan :"Saya telah menyarankan agar dilakukan boikot ekonomi terhadap Mesir".
Para wartawan mencatat bahwa itulah untuk pertama kali Arafat yang moderat itu berbicara keras mengenai Mesir. Arafat bukan satu-satunya orang Palestina yang menyatakan kemarahan terhadap perjanjian damai Mesir Israel. Bersama dengan tokoh-tokoh Palestina di perantauan, di wilayah pendudukan Israel sendiri terjadi reaksi yang bahkan berbentuk huru-hara. Di berbagai kota tepian Barat terjadi demonstrasi. Tentara dan kendaraan Israel dilempari batu, 2 orang Palestina tertembak tidak akan menghasilkan apa-apa", kata Elias Freij, walikota Bethlehem. "Pemerintahan sendiri yang mereka setujuai di Washington itu tidak serius. Israel pasti tidak akan memberi kesempatan," kata Dr.Haydar Abdel Shafi, Ketua Palang Merah Gaza.
Orang Palestina punya alasan kuat untuk pesimis. Beberapa hari sebelum berangkat ke Washington, Begin dengan tandas membantah tafsiran PM Mesir, Dr.Mustafa Khalil, terhadapperjanjian damai itu. Kata Begin "Dr.Khalil, Israel tidak akan kembali ke tapal batas sebelum perang tahun 1967. Kedua, Dr.Khalil - perhatikan ucapan saya - Yerusalem dan Gaza tidak akan pernah berdiri sebuah negara Palestina."
Di Kairo, keesokan harinya, dengan dingin Dr.Khalil memberikan komentarnya ; "Jangan terlalu menaruh di hati pembesar Israel itu. Yang penting apa yang tertulis dalam persetujuan damai." Naskah yang disepakati memang menyebut akan adanya saat pemerintahan sendiri bagi orang-orang Palestina, tetapi disana Israel secara jelas diikat dengan batas waktu. Bahkan ketentuan mengenai proses ke arah masa persiapan saat berdirinya pemerintahan itu masih sejak semula merupakan kalimat-kalimat yang ditafsirkan secara berbeda oleh kedua belah pihak.
Keseretan perundingan damai Mesir Israel sejak September hingga kunjungan Carter awal Maret ini terutama karena Kairo - Yerusalem belum sepakat mengenai hal yang secara langsung menyangkut kepentingan mereka. Ini terbukti dari kenyataan bahwa dalam hal yang menyangkut orang Palestina dan hari depan mereka, tidak ada perubahan dari naskah asli persetujuan Camp David, yang dari semula memang amat tidak menguntungkan orang-orang Palestina itu. Tafsiran Begin dalam keadaan demikian, kemarahan orang Palestina dan para pemimpin Arab mudah dimengerti.
Tapi yang nampaknya juga harus dimengerti adalah posisi Sadat. Perekonomian Mesir yang amat parah - inflasi 20% dan defisit perdagangan lebih dari 2,5 milyar dolar - memaksa Presiden Mesir itu untuk menjauhi perang dan mengejar damai. Mesir selama ini memang menerima bantuan sebesar 3 milyar dolar dari Arab Saudi dan negara Teluk Parsi lainnya. Tapi bantuan yang cuma cukup untuk konsumsi bagi penduduk Mesir yang berkembang cepat, tidak akan pernah bisa diharapkan menolong ekonomi yang terus memburuk.
Untuk membangun ekonomi, Mesir perlu memperkuat nilai uangnya. Untuk itu perlu investasi modal asing. Dan modal asing cuma akan masuk jika ada prospek damai dan stabilitas politik." Demikian analisa Abdel Moneim Qaissuni, penasehat ekonomi Sadat. Dengan bantuan ekonomi - juga militer - dari Amerika Serikat (sekarang 8 milyar dollar setahun, ditambah nantinya sesudah damai 2 milyar bantuan militer dan setengah milyar lagi untuk ekonomi selama 3 tahun) Sadat melihat perjanjian damai itu sebagai jalan keluar.
Di Washington, beberapa jam sebelum menandatangani perjanjian damai itu, ia menyempatkan diri untuk bertemu dengan sejumlah pengusaha besar sebagai jalan keluar. Masihkah dipertanyakan apakah nantinya Mesir - dengan kedutaan Israel di Kairo - tenang membangun ekonominya. Negara-negara Arab radikal dan orang-orang Palestina berjanji menggagalkan perdamaian itu, bahkan berniat membunuh Sadat, atau paling sedikit mengusahakan penggulingannya. Yang pasti mudah mereka lakukan dengan mengisolir Mesir secara ekonomis dan politik.
Tetapi usaha seperti ini rasanya sudah diperhitungkan Mesir. Yang nampaknya bakal berat bagi Sadat ialah jika ternyata kemudian ia tidak berhasil dengan cepat mengatasi masalah dalam negeri Mesir - politik maupun ekonomi - sementara Israel terus pula berkeras kepala melakukan tafsirannya terhadap persetuan damai seperti yang selama ini mereka lakukan.
Sumber : Arsip Majalah Tempo Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar