Pengantar
Dalam perkembangannya di
dalam Teologi kontemporer, baru lahir pada tahun 2019 di suatu negara Swiss.
Perintisnya adalah Karl Barth (1886-1968). Dan titik balik atau manifestasi
dari teologi kontemporer ini, muncul lewat tafsiran Karl Barth dalam surat Roma
pada tahun 1919. Perubahan arus teologia ini merupakan bagian dari lautan yang
lebih luas, bahwa ada perbedaan dimana teologi “modern” dengan teologi
“kontemporer” kadang-kadang sedikit sekali dan lebih merupakan tekanan yang
berbeda-beda yang sesungguhnya berdasarkan pada pra-anggapan yang sama.
Para
teolog-teolog modern akan mengatakan bahwa walaupun sejarah yang tercantum
dalam kekristenan, baik banyak maupun sedikit tidak dapat diterima, namun
ajaran Kristen, baik banyak ataupun sedikit dapat diterima. Karl Barth berbuat
demikian pada waktu ia mengesampingkan pertanyaan apakah si ular di Taman Eden
itu berbicara atau tidak sebab dia menganggapnya tidak sepenting apa yang
dikatakan si ular itu.
Bultmann
juga melakukannya waktu di satu segi lain ia menerimanya karena pemahaman
eksistensial tentang diri yang terdapat di dalamnya. Begitupun Moltmann di satu
segi mencela pandangan eskatologi Kristen yang tradisional yaitu gereja
menantikan hadirnya Tuhan yang telah bangkit dalam sejarah di masa mendatang,
namun di segi lain ia berbicara tentang gereja yang berorientasi pada masa
mendatang. John Robinson juga di satu pihak menolak konsep surga sebagai suatu
“tempat yang di atas sana”, namun di pihak lain menegaskan suatu dimensi baru
bagi kehidupan sebagai “keberadaan yang bermakna” dan Allah sebagai “dasar
keberadaan”.
Berbagai
teologi yang masuk kategori Teologi Kontemporer tidak muncul dengan tiba-tiba,
dan tidak sepenuhnya merupakan produk dari perkembangan dunia, gereja dan
teologi pada abad ke-20 hingga abag ke-21 sekarang ini. Berbagai peristiwa dan
perkembangan di dunia yang khas pada periode ini, yang ikut melatarbelakangi
dan menjadi konteks berteologi, antara lain Perang Dunia I (1914-18) dan II
(1939-45), merdekanya sejumlah negara-negara kolonialis. Kian merajanya
kapitalisme dan ekonomi neo-liberal, dan semakin intensifnya interaksi
antarumat beragama.
Kita
perlu mencatat beberapa perkembangan yang menonjol dan signifikan antara lain
Reformasi gereja abad ke-16, Rasionalisme dan Pencerahahan sejak abad ke-17
hingga ke-19 yang banyak tercermin pada Teologi Modern atau Teologi Liberal.
Walaupun pemikiran Kristen pada abad ke-20, terutama pada parohan kedua, telah
menempuh arah baru, banyak pertanyaan yang sudah muncul pada masa Pencerahan,
dan semakin didalami pada abad ke-19, masih terus merupakan isu vital hingga masa
kini. Tokoh-tokoh Teologi Modern antara lain Immanuel Kant, D.F.Strauss,
J.Voltaire, J.J.Rousseau, F.D.E.Schleirmacher, Albrecht Ritschl, Adolf von
Harnack, dan Soren Kierkegaard.
Dari
beberapa pandangan Teologi tersebut muncullah yang namanya Teologi Feminis.
Menarik karena Teologi Feminis ini, atau istilah feminisme ini seperti halnya
kapitalisme adalah a modern word atau sebuah kata yang muncul
sebagai produk zaman modern. Sedangkan arti kata itu sendiri berbicara tentang suatu
ideologi yang berisi sejumlah gagasan yang dipakai untuk memperjuangkan
perubahan sosial (Russel 1993,2). Sebutan feminisme menjadi kata kunci untuk
mengekspresikan gelombang kedua dari Gerakan perempuan yang muncul pada akhir
tahun 1960-an. Pada gelombang pertama di akhir abad ke-19 dan di awal abad
ke-20, isu-isu perjuangan meliputi pembaharuan posisi perempuan di masyarakat,
emansipasi, kemandirian ekonomi, dan kerja. Gelombang kedua mencakup
pokok-pokok persoalan seperti perjuangan untuk merombak budaya dan aturan dari
masyarakat yang dikuasai oleh sistem patriarkatisme; yaitu usaha untuk
memunculkan kesadaran mengenai dampak-dampak berbahaya atau bencana dari
pemikiran dualism, dan keinginan mengikuti prinsip-prinsip perempuan daripada
prinsip-prinsip laki-laki (Moltman-Wendel et al.2002, 471).
Selayang Pandang Teologi Feminis
Sumber-sumber
yang menyumbang bagi Gerakan perempuan pada gelombang kedua di Amerika Utara
dan Eropa antara lain adalah adanya dorongan dari Konsili Vatikan II agar para
Teolog Katolik merespons the signs of the times; inspirasi
teologi politik dari Jurgen Moltmann, Johann Baptist Metz, James Cone; dan
usaha para teolog pembebasan untuk “doing theology from the underside of
history”. Secara internal, Rosemary Radford Ruether mengatakan bahwa factor yang
sangat penting di akhir tahun 1960-an adalah adanya kondisi sosial yang
memunculkan kesadaran dalam diri perempuan yang dipaparkan memengaruhi
munculnya teologi feminisme di Amerika Utara dan Eropa.
Tahun
1980-an muncullah womanist theology sebagai kritik terhadap teolog feminis
kulit putih di Amerika Utara, karena mereka tidak berjuang bagi perempuan
berwarna kulit lain, khususnya perempuan kulit hitam keturunan campuran
Afrika-Amerika, yang tinggal di Amerika maupun yang tinggal tersebar di
negara-negara lain. Sedangkan gerakan perempuan di Asia secara organisasi dan
oikumene baru muncul di akhir tahun 1970-an dan teologi feminis Asia mulai
berkembang kemudian di awal tahun 1980-an.
Meski
pemicu utama teologi feminis di zaman modern adalah gerakan perempuan di
Amerika Utara dan Eropa, namun ini tidak berarti bahwa kitab oleh melupakan
catatan sejarah – apa yang disebut Ruether sebagai proto and early feminist
theological writings – tentang adanya warisan perjuangan perempuan di masa
lalu, yang dituangkan dalam pemikiran teologi mereka. Munculnya gerakan
perempuan dan Teologi Feminis menunjukkan adanya kesadaran kritis
perempuan. Perempuan berjuang melawan masyarakat patriarkat yang
disokong oleh budaya dan agama. Perempuan berjuang demi harga diri, keadilan,
dan pembebasan mereka. Perempuan menghendaki partisipasi setara antara mereka
dan laki-laki, baik di gereja maupun di masyarakat.
Pembahasan
Di dalam Teologi Feminis, terlihat
ada usaha merekonstruksi paradigma yang baru tentang jender, karena hal
itu mutlak dibutuhkan dalam Teologi Feminis. Analisa dan kritik Teologi Feminis
terhadap jender dalam masyarakat patriarkat sentris dan androsentris membantu
juga dalam mengkonsepkan interaksi di antara seksisme, rasisme, klasisme (classim)
dan militer kolonialisme.
Teologi
Feminis berusaha merekonstruksi semua simbol-simbol dasar dari keseluruhan
sistem teologi Kristen seperti doktrin tentang Allah, manusia sebagai laki-laki
dan perempuan, ciptaan, dosa, penebusan, pribadi dan karya Kristus, Gereja, dan
pengharapan masa depan atau eskatologi. Tema-tema misogynist serta laki-laki dalam tradisi teologi Kristen
dilihat dalam perspektif inklusif jender dan egaliter. Teologi Feminis juga
memunculkan tema-tema egalitarian di dalam kitab suci dan tradisi Kristen, agar
dapat membangun pemikiran baru dalam seluruh sistem teologi.
Bagi
Teologi Feminis, tidak semua simbol, baik dari agama-agama maupun sosial
budaya, kontra terhadap perempuan. Masih banyak symbol berbicara mengenai
nilaai-nilai keharmonisan, keadilan dan egalitarian. Teologi Feminis terbuka
terhadap simbol-simbol dan juga nilai-nilai kebenaran lainnya, meskipun
semuanya itu berasal dari luar kitab suci Kristen. Kwok Pui Lan, seorang Teolog
Feminis Asia, berpendapat bahwa sekarang ini orang-orang Kristen di Cina
mempunyai kesadaran baru tentang nilai-nilai agung di dalam sastra-sastra
mereka. Mereka mempelajari dan mengambil berbagai kebenaran dari kitab-kitab
satra kuno dan juga kitab-kitab suci lainnya. Konstruksi Teologi Feminis ini
adalah kritik terhadap apa yang disebut ortodoksi – penekanan pada otoritas
kitab suci – dalam sistem teologi lama; dan dengan demikian, terbuka juga untuk
dialog-dialog antar iman yang dapat mengokohkan perjuangan perempuan Bersama di
tengah-tengah konteks plural ini.
Teologi
Feminis, yang jelas harus melewati prinsip-prinsip kritis, sebagaimana
ditegaskan oleh Ruether, yaitu mesti mempromosikan kepenuhan perempuan sebagai
manusia. Secara teologis, prinsip kritis itu menegaskan bahwa apa saja yang
mengurangi atau menolak kepenuhan itu harus dianggap tidak merefleksikan..”the
divine or an authentic relation to the divine, or to reflect the authentic
nature things, or to be the message or
work of an authentic redeemer or a community of redemption”. Dan sebaliknya”of
a the Holy, it does reflect true relation to the divine; is the true nature of
things, the authentic message of redemption and the mission of redemptive
community”.
Jadi
prinsip-prinsip kritis ini menjadikan Teologi Feminis mempunyai kriteria untuk
membedakan simbolisasi dari dominasi dan kekuasaan yang menindas.
Prinsip-prinsip itu juga melakukan pencarian pesan-pesan kenabian untuk
menegakkan keadilan dan mengafirmasi hubungan timbal balik antar manusia. Usaha
yang mau dicapai adalah penebusan dari yang jahat terhadap kelanggengan
ketidakadilan. Keunikan Teologi Feminis ini terletak pada pengalaman
perempuan. Pengalama itu juga sebagai titik berangkat Teolog Feminis
dalam berteologi.
Ada
dua kutub aliran dalam mengartikan pengalaman perempuan, yakni pengalaman
perempuan feminis (women’s feminist experience) dan pengalaman perempuan
tradisional (woman’s traditional experience). Model pertama yang
berbicara tentang pengalaman pembebasan itu sendiri melawan penindasan, budaya,
dan Lembaga seksis, dan bergerak menuju kemerdekaan bagi perempuan. Nilai
positif dari model ini adalah memampukan perempuan menggalang solidaritas
dengan kelompok-kelompok tertindas lainnya. Model kedua berbicara soal
pernikahan dan keibuan dalam diri perempuan, atau yang disebut women’s body experience.
Isu-isu yang dibahas dalam model ini meliputi menstruasi, kehamilan, masa
menyusui anak atau laktasi, berhentinya menstruasi atau menopause, dan
mengasosiasikan perempuan tradisional
dengan alam.
Tambahan,
apapun yang dipertimbangkan sebagai kefeminian atau feminisme, seperti intuisi,
ekspresi perasaan, dan dimensi relasional personal perempuan, juga menjadi topik-topik diskusi dalam model ini.
Para teolog feminis dari model ini menunjukkan women’s body experience dan feminine
dalam sebuah visi holistic feminis yang bertujuan membebaskan perempuan yang
teralienasi selama ini dalam budaya dan teologi laki-laki. Model ini juga
menegaskan “creating positive attitudes toward the female body is essential
for woman’s liberations and that anything common to many woman should be
positively valued from a feminist perpective.
Teologi
Feminis juga memberi nilai positif karena berbicara secara kreatif
tentang teologi tubuh perempuan melalui menarik gambar-gambar, model-model,
pemahaman-pemahaman mendalam (insights) dan konsep-konsep dari tubuh perempuan
untuk menyediakan analogi-analogi tentang Allah atau hubungan Allah dengan
dunia ini. Misalnya Allah digambarkan seperti ibu yang berelasi dengan
anak-anaknya (umat-Nya) malalui tindakan-Nya mengandung dan melahirkan
(Ul.32:18) dan menyusui serta memberi makan (Yes.49:15; Rut 1:20-21). Teologi
Tubuh juga menyediakan analogi-analogi hubungan antara Allah dengan dunia ini,
dan oleh para teolog ekofeminis analogi-analogi itu dipakai untuk menaruh
perhatian pada isu-isu krisis ekonomi dan bahaya nuklir. Mereka menganalogikan
dunia ini sebagai tubuh Allah, karena dunia dilahirkan dan diberi kehidupan
oleh Allah sebagai ibu yang mencipta dan memelihara. Oleh karena itu, segala
macam perusakan terhadap alam adalah Tindakan yang melukai dan menyakiti tubuh
Allah.
Titik
berangkat metode Teologi Feminis adalah pengalaman perempuan, dan itu
dikaitkan dengan proses hermeneutik yang menuju kepada pemulihan (recovery) dan
interpretasi ulang (reinterpretation) kitab suci Kristen dan tradisi.
Ruether mengatakan bahwa proses itu meliputi tiga aspek yang saling
berinteraksi: (1) critique of misogyny and androcenrism in the biblical and
theological tradition; (2) recovery of alternative, prophetic,
egalitarian traditions; and (3) re-envisioning all the theological
symbols in an egalitarian, justice-making way.
Teologi
Feminis menyadari bahwa keseluruhan kitab suci adalah androsentris.
Menegaskan bahwa teks-teks kitab suci itu tidak misogynist, namun dalam
lensa budaya laki-laki menjadi misogynist. Tujuan Gerakan feminis ini bukan
sekadar mencapai kemanusiaan utuh perempuan-karena arti kemanusiaan selama ini
telah didefinisikan oleh laki-laki-tetapi afirmasi diri religious perempuan,
kuasa dan pembebasan dari semua alienasi patriarkat, marjinalisasi, dan
penindasan.
Berkaitan
dengan metode feminisme, Mary Daly memperingatkan para teolog feminis untuk
berhati-hati dalam menggunakan metode feminisme mereka. Ia memperingatkan
bahaya apa yang ia sebut sebagai methodolatry sebagai sebuah kerangka opini
tradisional dan tingkah laku yang tidak mau berubah, yang menempatkan perempuan
sebagai nondata and their questions nonquestions.
Teologi
feminis menaruh perhatian kepada penindasan perempuan lintas budaya, yang
terjadi baik secara lokal maupun global. Sedangkan hubungannya dengan
requeering sexuality, teologi feminis – terutama yang radikal dan liberal –
setuju dengan pendapat para penganut queer bahwa seksualitas tidak dapat
dibatasi pada normalitas binerisme dengan konsepnya yang baku tentang
heteroseksualitas. Oleh karena itu, adanya praktik homoseksualitas merupakan
bukti bahwa pembakuan terhadap konsep normalitas binerisme dan
heteroseksualitas adalah keliru. Pembakuan tersebut bisa dikategorikan dalam dosa sexisme dalam perspektif
teologi feminis. Pandangan Teologi Feminis menurut Queer tentang
homoseksualitas menggoncangkan teologi konservatif tentang seksualitas dan
konsep pernikahan heteroseksual.
Pandangan
Teologi Feminis ini sampai sekarang, konsepnya ‘masih sulit’ diterima oleh
gereja dan masyarakat. Di masyarakat Indonesia yang religious dan patriarkat,
usulan terhadap pernikahan sejenis, dan usaha merobak pandangan tentang
normalitas binerisme pasti akan ditentang dengan sangat kuat.
Kesimpulan
Teologi
Feminis adalah teologi yang kreatif dan inovatif. Pengalaman perempuan
dieksplorasi sedemikian rupa melalui Analisa dan refleksi teologis yang beragam
dan mendalam serta dengan bantuan berbagai disiplin ilmu. Teologi ini tidak
saja memunculkan banyak pandangan yang baru, melainkan juga memiliki kekuatan
dalam praksisnya. Teologi ini menggoncangkan pandangan konservatif yang ada
selama ini, karena merekonstruksi simbol-simbol patriarkat dan memunculkan
perjuangan perempuan secara sosial politik dalam konteks gereja dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar