TEKOA MINISTRY

Selasa, 25 Januari 2022

Teologi Feminis

 




Pengantar

Dalam perkembangannya di dalam Teologi kontemporer, baru lahir pada tahun 2019 di suatu negara Swiss. Perintisnya adalah Karl Barth (1886-1968). Dan titik balik atau manifestasi dari teologi kontemporer ini, muncul lewat tafsiran Karl Barth dalam surat Roma pada tahun 1919. Perubahan arus teologia ini merupakan bagian dari lautan yang lebih luas, bahwa ada perbedaan dimana teologi “modern” dengan teologi “kontemporer” kadang-kadang sedikit sekali dan lebih merupakan tekanan yang berbeda-beda yang sesungguhnya berdasarkan pada pra-anggapan yang sama.

              Para teolog-teolog modern akan mengatakan bahwa walaupun sejarah yang tercantum dalam kekristenan, baik banyak maupun sedikit tidak dapat diterima, namun ajaran Kristen, baik banyak ataupun sedikit dapat diterima. Karl Barth berbuat demikian pada waktu ia mengesampingkan pertanyaan apakah si ular di Taman Eden itu berbicara atau tidak sebab dia menganggapnya tidak sepenting apa yang dikatakan si ular itu.

              Bultmann juga melakukannya waktu di satu segi lain ia menerimanya karena pemahaman eksistensial tentang diri yang terdapat di dalamnya. Begitupun Moltmann di satu segi mencela pandangan eskatologi Kristen yang tradisional yaitu gereja menantikan hadirnya Tuhan yang telah bangkit dalam sejarah di masa mendatang, namun di segi lain ia berbicara tentang gereja yang berorientasi pada masa mendatang. John Robinson juga di satu pihak menolak konsep surga sebagai suatu “tempat yang di atas sana”, namun di pihak lain menegaskan suatu dimensi baru bagi kehidupan sebagai “keberadaan yang bermakna” dan Allah sebagai “dasar keberadaan”.

              Berbagai teologi yang masuk kategori Teologi Kontemporer tidak muncul dengan tiba-tiba, dan tidak sepenuhnya merupakan produk dari perkembangan dunia, gereja dan teologi pada abad ke-20 hingga abag ke-21 sekarang ini. Berbagai peristiwa dan perkembangan di dunia yang khas pada periode ini, yang ikut melatarbelakangi dan menjadi konteks berteologi, antara lain Perang Dunia I (1914-18) dan II (1939-45), merdekanya sejumlah negara-negara kolonialis. Kian merajanya kapitalisme dan ekonomi neo-liberal, dan semakin intensifnya interaksi antarumat beragama.

              Kita perlu mencatat beberapa perkembangan yang menonjol dan signifikan antara lain Reformasi gereja abad ke-16, Rasionalisme dan Pencerahahan sejak abad ke-17 hingga ke-19 yang banyak tercermin pada Teologi Modern atau Teologi Liberal. Walaupun pemikiran Kristen pada abad ke-20, terutama pada parohan kedua, telah menempuh arah baru, banyak pertanyaan yang sudah muncul pada masa Pencerahan, dan semakin didalami pada abad ke-19, masih terus merupakan isu vital hingga masa kini. Tokoh-tokoh Teologi Modern antara lain Immanuel Kant, D.F.Strauss, J.Voltaire, J.J.Rousseau, F.D.E.Schleirmacher, Albrecht Ritschl, Adolf von Harnack, dan Soren Kierkegaard.

              Dari beberapa pandangan Teologi tersebut muncullah yang namanya Teologi Feminis. Menarik karena Teologi Feminis ini, atau istilah feminisme ini seperti halnya kapitalisme adalah a modern word atau sebuah kata yang muncul sebagai produk zaman modern. Sedangkan arti kata itu sendiri berbicara tentang suatu ideologi yang berisi sejumlah gagasan yang dipakai untuk memperjuangkan perubahan sosial (Russel 1993,2). Sebutan feminisme menjadi kata kunci untuk mengekspresikan gelombang kedua dari Gerakan perempuan yang muncul pada akhir tahun 1960-an. Pada gelombang pertama di akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20, isu-isu perjuangan meliputi pembaharuan posisi perempuan di masyarakat, emansipasi, kemandirian ekonomi, dan kerja. Gelombang kedua mencakup pokok-pokok persoalan seperti perjuangan untuk merombak budaya dan aturan dari masyarakat yang dikuasai oleh sistem patriarkatisme; yaitu usaha untuk memunculkan kesadaran mengenai dampak-dampak berbahaya atau bencana dari pemikiran dualism, dan keinginan mengikuti prinsip-prinsip perempuan daripada prinsip-prinsip laki-laki (Moltman-Wendel et al.2002, 471).

Selayang Pandang Teologi Feminis

              Sumber-sumber yang menyumbang bagi Gerakan perempuan pada gelombang kedua di Amerika Utara dan Eropa antara lain adalah adanya dorongan dari Konsili Vatikan II agar para Teolog Katolik merespons the signs of the times; inspirasi teologi politik dari Jurgen Moltmann, Johann Baptist Metz, James Cone; dan usaha para teolog pembebasan untuk “doing theology from the underside of history”. Secara internal, Rosemary Radford Ruether mengatakan bahwa factor yang sangat penting di akhir tahun 1960-an adalah adanya kondisi sosial yang memunculkan kesadaran dalam diri perempuan yang dipaparkan memengaruhi munculnya teologi feminisme di Amerika Utara dan Eropa.

              Tahun 1980-an muncullah womanist theology sebagai kritik terhadap teolog feminis kulit putih di Amerika Utara, karena mereka tidak berjuang bagi perempuan berwarna kulit lain, khususnya perempuan kulit hitam keturunan campuran Afrika-Amerika, yang tinggal di Amerika maupun yang tinggal tersebar di negara-negara lain. Sedangkan gerakan perempuan di Asia secara organisasi dan oikumene baru muncul di akhir tahun 1970-an dan teologi feminis Asia mulai berkembang kemudian di awal tahun 1980-an.

              Meski pemicu utama teologi feminis di zaman modern adalah gerakan perempuan di Amerika Utara dan Eropa, namun ini tidak berarti bahwa kitab oleh melupakan catatan sejarah – apa yang disebut Ruether sebagai proto and early feminist theological writings – tentang adanya warisan perjuangan perempuan di masa lalu, yang dituangkan dalam pemikiran teologi mereka. Munculnya gerakan perempuan dan Teologi Feminis menunjukkan adanya kesadaran kritis perempuan. Perempuan berjuang melawan masyarakat patriarkat yang disokong oleh budaya dan agama. Perempuan berjuang demi harga diri, keadilan, dan pembebasan mereka. Perempuan menghendaki partisipasi setara antara mereka dan laki-laki, baik di gereja maupun di masyarakat.

Pembahasan  

              Di dalam Teologi Feminis, terlihat ada usaha merekonstruksi paradigma yang baru tentang jender, karena hal itu mutlak dibutuhkan dalam Teologi Feminis. Analisa dan kritik Teologi Feminis terhadap jender dalam masyarakat patriarkat sentris dan androsentris membantu juga dalam mengkonsepkan interaksi di antara seksisme, rasisme, klasisme (classim) dan militer kolonialisme.

              Teologi Feminis berusaha merekonstruksi semua simbol-simbol dasar dari keseluruhan sistem teologi Kristen seperti doktrin tentang Allah, manusia sebagai laki-laki dan perempuan, ciptaan, dosa, penebusan, pribadi dan karya Kristus, Gereja, dan pengharapan masa depan atau eskatologi. Tema-tema misogynist  serta laki-laki dalam tradisi teologi Kristen dilihat dalam perspektif inklusif jender dan egaliter. Teologi Feminis juga memunculkan tema-tema egalitarian di dalam kitab suci dan tradisi Kristen, agar dapat membangun pemikiran baru dalam seluruh sistem teologi.

              Bagi Teologi Feminis, tidak semua simbol, baik dari agama-agama maupun sosial budaya, kontra terhadap perempuan. Masih banyak symbol berbicara mengenai nilaai-nilai keharmonisan, keadilan dan egalitarian. Teologi Feminis terbuka terhadap simbol-simbol dan juga nilai-nilai kebenaran lainnya, meskipun semuanya itu berasal dari luar kitab suci Kristen. Kwok Pui Lan, seorang Teolog Feminis Asia, berpendapat bahwa sekarang ini orang-orang Kristen di Cina mempunyai kesadaran baru tentang nilai-nilai agung di dalam sastra-sastra mereka. Mereka mempelajari dan mengambil berbagai kebenaran dari kitab-kitab satra kuno dan juga kitab-kitab suci lainnya. Konstruksi Teologi Feminis ini adalah kritik terhadap apa yang disebut ortodoksi – penekanan pada otoritas kitab suci – dalam sistem teologi lama; dan dengan demikian, terbuka juga untuk dialog-dialog antar iman yang dapat mengokohkan perjuangan perempuan Bersama di tengah-tengah konteks plural ini.

              Teologi Feminis, yang jelas harus melewati prinsip-prinsip kritis, sebagaimana ditegaskan oleh Ruether, yaitu mesti mempromosikan kepenuhan perempuan sebagai manusia. Secara teologis, prinsip kritis itu menegaskan bahwa apa saja yang mengurangi atau menolak kepenuhan itu harus dianggap tidak merefleksikan..”the divine or an authentic relation to the divine, or to reflect the authentic nature things, or to be  the message or work of an authentic redeemer or a community of redemption”. Dan sebaliknya”of a the Holy, it does reflect true relation to the divine; is the true nature of things, the authentic message of redemption and the mission of redemptive community”.

              Jadi prinsip-prinsip kritis ini menjadikan Teologi Feminis mempunyai kriteria untuk membedakan simbolisasi dari dominasi dan kekuasaan yang menindas. Prinsip-prinsip itu juga melakukan pencarian pesan-pesan kenabian untuk menegakkan keadilan dan mengafirmasi hubungan timbal balik antar manusia. Usaha yang mau dicapai adalah penebusan dari yang jahat terhadap kelanggengan ketidakadilan. Keunikan Teologi Feminis ini terletak pada pengalaman perempuan. Pengalama itu juga sebagai titik berangkat Teolog Feminis dalam berteologi.

              Ada dua kutub aliran dalam mengartikan pengalaman perempuan, yakni pengalaman perempuan feminis (women’s feminist experience) dan pengalaman perempuan tradisional (woman’s traditional experience). Model pertama yang berbicara tentang pengalaman pembebasan itu sendiri melawan penindasan, budaya, dan Lembaga seksis, dan bergerak menuju kemerdekaan bagi perempuan. Nilai positif dari model ini adalah memampukan perempuan menggalang solidaritas dengan kelompok-kelompok tertindas lainnya. Model kedua berbicara soal pernikahan dan keibuan dalam diri perempuan, atau yang disebut women’s body experience. Isu-isu yang dibahas dalam model ini meliputi menstruasi, kehamilan, masa menyusui anak atau laktasi, berhentinya menstruasi atau menopause, dan mengasosiasikan  perempuan tradisional dengan alam.

              Tambahan, apapun yang dipertimbangkan sebagai kefeminian atau feminisme, seperti intuisi, ekspresi perasaan, dan dimensi relasional personal perempuan, juga  menjadi topik-topik diskusi dalam model ini. Para teolog feminis dari model ini menunjukkan women’s body experience dan feminine dalam sebuah visi holistic feminis yang bertujuan membebaskan perempuan yang teralienasi selama ini dalam budaya dan teologi laki-laki. Model ini juga menegaskan “creating positive attitudes toward the female body is essential for woman’s liberations and that anything common to many woman should be positively valued from a feminist perpective.

              Teologi Feminis juga memberi nilai positif karena berbicara secara kreatif tentang teologi tubuh perempuan melalui menarik gambar-gambar, model-model, pemahaman-pemahaman mendalam (insights) dan konsep-konsep dari tubuh perempuan untuk menyediakan analogi-analogi tentang Allah atau hubungan Allah dengan dunia ini. Misalnya Allah digambarkan seperti ibu yang berelasi dengan anak-anaknya (umat-Nya) malalui tindakan-Nya mengandung dan melahirkan (Ul.32:18) dan menyusui serta memberi makan (Yes.49:15; Rut 1:20-21). Teologi Tubuh juga menyediakan analogi-analogi hubungan antara Allah dengan dunia ini, dan oleh para teolog ekofeminis analogi-analogi itu dipakai untuk menaruh perhatian pada isu-isu krisis ekonomi dan bahaya nuklir. Mereka menganalogikan dunia ini sebagai tubuh Allah, karena dunia dilahirkan dan diberi kehidupan oleh Allah sebagai ibu yang mencipta dan memelihara. Oleh karena itu, segala macam perusakan terhadap alam adalah Tindakan yang melukai dan menyakiti tubuh Allah.

              Titik berangkat metode Teologi Feminis adalah pengalaman perempuan, dan itu dikaitkan dengan proses hermeneutik yang menuju kepada pemulihan (recovery) dan interpretasi ulang (reinterpretation) kitab suci Kristen dan tradisi. Ruether mengatakan bahwa proses itu meliputi tiga aspek yang saling berinteraksi: (1) critique of misogyny and androcenrism in the biblical and theological tradition; (2) recovery of alternative, prophetic, egalitarian traditions; and (3) re-envisioning all the theological symbols in an egalitarian, justice-making way.

              Teologi Feminis menyadari bahwa keseluruhan kitab suci adalah androsentris. Menegaskan bahwa teks-teks kitab suci itu tidak misogynist, namun dalam lensa budaya laki-laki menjadi misogynist. Tujuan Gerakan feminis ini bukan sekadar mencapai kemanusiaan utuh perempuan-karena arti kemanusiaan selama ini telah didefinisikan oleh laki-laki-tetapi afirmasi diri religious perempuan, kuasa dan pembebasan dari semua alienasi patriarkat, marjinalisasi, dan penindasan.

              Berkaitan dengan metode feminisme, Mary Daly memperingatkan para teolog feminis untuk berhati-hati dalam menggunakan metode feminisme mereka. Ia memperingatkan bahaya apa yang ia sebut sebagai methodolatry sebagai sebuah kerangka opini tradisional dan tingkah laku yang tidak mau berubah, yang menempatkan perempuan sebagai nondata and their questions nonquestions.

              Teologi feminis menaruh perhatian kepada penindasan perempuan lintas budaya, yang terjadi baik secara lokal maupun global. Sedangkan hubungannya dengan requeering sexuality, teologi feminis – terutama yang radikal dan liberal – setuju dengan pendapat para penganut queer bahwa seksualitas tidak dapat dibatasi pada normalitas binerisme dengan konsepnya yang baku tentang heteroseksualitas. Oleh karena itu, adanya praktik homoseksualitas merupakan bukti bahwa pembakuan terhadap konsep normalitas binerisme dan heteroseksualitas adalah keliru. Pembakuan tersebut bisa dikategorikan  dalam dosa sexisme dalam perspektif teologi feminis. Pandangan Teologi Feminis menurut Queer tentang homoseksualitas menggoncangkan teologi konservatif tentang seksualitas dan konsep pernikahan heteroseksual.

              Pandangan Teologi Feminis ini sampai sekarang, konsepnya ‘masih sulit’ diterima oleh gereja dan masyarakat. Di masyarakat Indonesia yang religious dan patriarkat, usulan terhadap pernikahan sejenis, dan usaha merobak pandangan tentang normalitas binerisme pasti akan ditentang dengan sangat kuat.

Kesimpulan

              Teologi Feminis adalah teologi yang kreatif dan inovatif. Pengalaman perempuan dieksplorasi sedemikian rupa melalui Analisa dan refleksi teologis yang beragam dan mendalam serta dengan bantuan berbagai disiplin ilmu. Teologi ini tidak saja memunculkan banyak pandangan yang baru, melainkan juga memiliki kekuatan dalam praksisnya. Teologi ini menggoncangkan pandangan konservatif yang ada selama ini, karena merekonstruksi simbol-simbol patriarkat dan memunculkan perjuangan perempuan secara sosial politik dalam konteks gereja dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar