TEKOA MINISTRY

Kamis, 13 Januari 2022

Kristologi Post-Kolonial

 


Kata pengantar

Dunia misiologi sudah penuh dengan gagasan-gagasan seperti pempribumian, komunikasi, konseptualisasi, penjelmaan, inkulturisasi dan last but least kontekstualisasi. Karena belum ada difinisi-definisi yang umum diterima, istilah-istilah tersebut dipergunakan secara luas dan hangat diperdebatkan di kalangan misiologi.

Dr.Hesselgrave dan Dr.Rommen adalah dua pakar misiologi dari Amerika Utara, yang telah meninjau pandangan-pandangan tentang kontekstualisasi dari seluruh dunia. Yang menjadi dasar dari buku tersebut adalah sederhana yakni kontekstualisasi, melalui suatu kebutuhan yang mendesak. Disertai beberapa asumsi sebagai berikut :

1.     Amanat Agung dari Yesus Kristus harus digenapi dan dunia harus mendengar Injil.

2.     Bagaimanapun kita memahami penginjilan dunia, paling tidak sudah termasuk di dalamnya pemberitaan Injil dengan cara yang dapat dimengerti.

3.     Bila Injil itu akan dimengerti, harus ada kontekstualisasi.

Hasil kontekstualisasi harus cocok dengan kewibawaan dan berita Alkitab, dan pada pihak lain harus dikaitkan dengan latar belakang budaya, bahasa dan agama para penerima. Menjelaskan dan mengevaluasi pelbagai makna, metode dan model kontekstualisasi. Upaya ini mengandung sejumlah risiko.

KONTEKTUALISASI DALAM ALKITAB

            Dalam 2 Raja-raja 18 dimuat laporan mengenai pengepungan Yerusalem oleh raja Asyur, Sanherib. Setelah raja Sanherib menuntut upeti yang amat besar (ayat 14-16), ia menjadi semakin berani, karena Hizkia terlihat lemah dan ia menuntut penyerahan total dari kota itu. Di tengah-tengah konfrontasi itu, suatu delegasi Asyur mendekati gerbang kota Yerusalem untuk merundingkan penyerahan. Para anggotanya mengerti bahasa Ibrani, dan panglima tentaranya mulai menggambarkan akibat-akibat negatif yang akan dialami kota Yerusalem apabila penduduknya tidak menyerah. Bualan orang Asyur ini dimaksudkan untuk menghancurkan keberanian Hizkia.

            Para utusan Hizkia tidak ingin rakyat mereka yang sudah berkumpul di dinding kota mendengar percakapan yang meresahkan ini. Karena itu mereka meminta panglima Asyur untuk melanjutkan percakapannya dalam bahasa Aram. Sang panglima menolaknya, serta mulai berbicara kepada rakyat dalam bahasa Ibrani. Dalam peristiwa ini jelas ada usaha untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan bahasa agar dapat mencapai tujuan-tujuan tertentu. Para utusan Hizkia berusaha memperoleh keuntungan dengan menggunakan bahasa lawan mereka. Tetapi apakah ini contoh kontekstualisasi? Bukan, paling tidak dalam pengertian modern kata itu. Lalu apa yang kita dapat temukan dalam Alkitab yang menjembatani perbedaan-perbedaan bahasa dan budaya agar maksud-maksud Allah, dan bukan rencana-rencana manusia, dapat tercapai?

            Pemahaman dan pendekatan kita terhadap kontekstualisasi seperti yang muncul dalam Alkitab sebagian akan tergantung pada kemampuan kita untuk menemukan usaha-usaha aktif dan yang sengaja dilakukan, untuk menyampaikan suatu berita agamawi yang isinya khusus dan jelas melalui lintas budaya.

            Dalam PL (Perjanjian Lama) sulit ditemukan contoh-contoh komunikasi lintas budaya dalam hal suatu berita keagamaan yang khusus. Namun demikian, tampaknya perjumpaan lintas budaya tidaklah sedikit, misalnya dalam politik ( Yos.9; 1 Raj.15:16-22 ), agama ( Hak.6:31-32; 1 Raj.18:1-40; Zef.1:4-8 ), perdagangan ( 2 Taw.8:17-18; 9:21; Yeh.27:12-25 ) dan seni ( Yeh.23:11-21 ).

            Nabi Yeremia mengirim surat kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di pembuangan di Babel ( Yer.29 ). Surat ini menganjurkan adaptasi secara sadar dan sengaja, yang tidak jauh dari pemahaman modern tentang kontekstualisasi. Nabi mendesak para pembaca suratnya agar menantikan dengan sabar pembebasan oleh Tuhan, dan mendorong mereka untuk membangun rumah, menanam kebun, dan memakan apa yang mereka hasilkan: yang merupakan imbauan untuk menjalani kehidupan yang normal. Lagipula, ia menyuruh mereka:”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana Aku buang” (ayat 7). Istilah “usahakanlah” (darasy) harus dipahami dalam pengertian “bekerja untuk mencapai sesuatu atau atas nama seseorang”.

            Dengan demikian, mengusahakan kesejahteraan kita berarti,”meningkatkannya dengan usaha-usaha mereka sendiri dan memeliharanya dengan hati-hati” (Calvin 1852: hal.420 catatan 1). Jadi peringatan-peringatan Yeremia dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Yahudi agar aktif memberi sumbangan bagi kesejahteraan umum kota Babel. Meskipun penyampaian suatu berita khusus tidak disebutkan, namun perintah untuk “berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan” mengisyaratkan bahwa kegiatan mereka didasarkan, paling tidak sebagian, pada hubungan perjanjian yang unik antara bangsa Yahudi dengan Allah.

            Memberikan sumbangan positif pada kebudayaan dan kehidupan Babel melibatkan lebih daripada sekadar mengatasi halangan-halangan kebudayaan. Orang-orang Yahudi harus menjalani kehidupan beriman mereka dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan Babel itu, namun tetap beriman Yahudi. Namun demikian, walaupun mereka mewujudkan iman secara tepat, belum tentu mereka juga memberitakannya kepada orang lain.

            Pendekatan lebih seimbang dikemukakan oleh Blaw (1962). Menurutnya, teologi misi tidak boleh dialaskan pada dasar yang sempit seperti beberapa ayat tertentu. Dasarnya adalah kesaksian Alkitab secara menyeluruh yang dipahami sebagai kesatuan yang utuh. Pada waktu itu PL (Perjanjian Lama) diteliti dengan cara ini, sang peneliti tiba-tiba diperhadapkan dengan banyak bahan yang secara langsung berhubungan dengan tanggung jawab missioner Israel. Misalnya, orang-orang Yahudi bertanggung jawab bagi “orang-orang asing”, yaitu orang bukan Israel yang menetap di Israel. Orang-orang asing itu harus tunduk pada banyak aturan keagamaan seperti halnya yang dilakukan orang-orang Yahudi (Kel.12:19; Bil.15:15-16), misalnya hukum Sabat (Kel.20:10), Hari Pendamaian (Im.16:29), Paskah (Bil.9:14; Kel.12:48), sunat (Kel.12:48), pemberian kurban (Im.17:8-9) dan ibadah (2 Taw.6:32-33). Ulangan 31:12 memerintahkan Israel agar mengajar orang-orang asing itu agar merekapun mengenal kebesaran Allah.

            Tetapi bila orang Israel bertanggung jawab untuk berkomunikasi secara lintas budaya, dan bila kegiatan tersebut ternyata melibatkan mereka dalam semacam bentuk kontekstualisasi, mengapa kita menemukan hanya sedikit contoh tentang kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama, kalaupun ada, beberapa hal dapat diajukan sbb :

1.     Kita harus memperhatikan kenyataan bahwa Allah secara jelas melarang Israel mengadakan perjanjian politik dan keagamaan dengan bangsa-bangsa tertentu (Kel.23:20-33; 34:10-16). Misalnya, ketika Israel memasuki Kanaan, mereka dituntut untuk mengusir semua bangsa lain: ini merupakan suatu bentuk ekslusivisme kebudayaan. Sudah tentu, kebijaksanaan ini adalah untuk melestarikan hubungan  yang unik antara Israel dengan Allah dan kemurnian rohaninya. Karena itu tidak ada penyesuaian  atau adaptasi dengan keagamaan dalam lingkungan yang baru. Malah, Allah menuntut agar Israel merubuhkan dan menghancurkan sama sekali semua tugu-tugu pemujaan dan tiang-tiang berhala orang Kanaan. (Kel.34:13). Hal ini menolong Israel mempertahankan kesetiaannya kepada perjanjian dengan Allah, tetapi sama sekali tidak membantu proses kontekstualisasi seperti yang kita pahami. Yang menarik, Israel tidak hanya gagal dalam menerapkan rancangan Allah dan menghapuskan ancaman ini (Hak.1:27-33) tetapi bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu bangsa Kanaan, yaitu orang-orang Gibeon (Yos.9). Akibatnya, mereka mengalami tekanan kuat yang membawa mereka maju mundur diantara pemberontakan terbuka melawan Allah pada satu pihak, dan pada pihak lain apa yang dalam kasus-kasus tertentu berkembang menjadi isolasi yang perlu tetapi berlebih-lebihan, ketika berjuang demi keberadaan mereka sendiri. Dalam keadaan ini penyesuaian sehat dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan sangatlah dibatasi.

2.     Proses kontekstualisasi dihalangi oleh tidak adanya berita keagamaan yang jelas. Karena hakikat Injil Kristen adalah kematian dan kebangkitan Kristus, maka berita yang disampaikan pada masa sebelum Kristus datang, tidak sejelas seperti halnya setelah kebangkitan Kristus.

3.   Karena orientasinya yang etnosentris, maka pada zaman Perjanjian Lama komunitas perjanjian umumnya mengabaikan tanggung jawab misioner apapun. Orang-orang Yahudi tidak tampak aktif dalam memberitakan berita keagamaan kepada orang bukan-Yahudi, meskipun mereka dikelilingi oleh banyak kelompok etnis yang berbeda.

Perjanjian Baru memperlihatkan serangkaian keadaan yang amat berbeda, sehingga berguna dalam kontekstualisasi. Pertama, kedatangan Kristus dan penggenapan karya penyelamatan-Nya memberikan focus bagi kita berita keagamaan. Setelah peristiwa-peristiwa Paskah, para pendengar tidak hanya diundang untuk menerima bagian yang bersifat tambahan belaka dalam hubungan perjanjian Israel dengan Yahweh. Kepada mereka ditawarkan suatu jalan praktis yang dapat diwujudkan untuk menuju keselamatan pribadi – Sola Gratia, In Christo, per fidem.

            Kedua, dokumen-dokumen Perjanjian Baru tidaklah pertama-tama bersifat deskriptif. Artinya, dokumen-dokumen itu tidak saja melaporkan penyebaran misi jemaat, melainkan justru merupakan alat-alat yang digunakan dalam penyebaran tersebut. Dengan kata lain, dokumen-dokumen ini tercipta justru oleh program misioner yang sedang berlangsung. Karena alas an-alasan inilah, maka lebih mudah untuk mengenal contoh-contoh kontekstualisasi yang leb dengan situasi yang dihadapi dalam dunia modern kita yang berbudaya majemuk dalam Perjanjian Baru. Situasi-situasi ini tidak hanya melibatkan usaha-usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan dengan menyesuaikan diri dengan menggunakan perbedaan-perbedaan kebudayaan, melainkan juga penyampaian yang dilakukan secara sadar dan sengaja dari suatu berita keagamaan yang jelas.

            Ada sejumlah cara untuk meneliti kegiatan kontekstualisasi dalam perjanjian Baru. Pertama, kita dapat mengarahkan perhatian kepada orang-orang percaya yang ketika berhadapan dengan halangan-halangan terhadap kontekstualisasi, berusaha mengembangkan cara dan sarana untuk mengatasinya. Ini tidak berarti bahwa setiap contoh dilukiskan dengan rapi. Bahkan, laporan-laporan Perjanjian Baru memberikan bukti mengenai ketegangan yang timbul pada saat orang-orang percaya pertama bergumul untuk melakukan transisi kepada budaya-budaya lain. Karena alasan ini, dalam Perjanjian Baru ada contoh-contoh perjumpaan lintas budaya yang mirip dengan apa yang ditemukan dalam Perjanjian Lama (termasuk beberapa kegagalan). Ada perjumpaan-perjumpaan di bidang politik (Kis.16:19-40), agama dan filsafat (Kis.17:16-34), sihir (Kis.13:4-12) dan ekonomi (Kis.19:23-41).

            Kedua, kita dapat memusatkan perhatian pada hasil kegiatan sastra yang dilakukan oleh orang yang berusaha mengkontekstualisasikan pemberitaannya, yaitu terbentuknya dokumen-dokumen Perjanjian Baru itu sendiri. Masing-masing kitab Injil, misalnya, mencerminkan kebudayaan penulisnya dan jelas ditujukan kepada siding pembaca yang khusus. Injil Matius bersifat Yahudi. Hal ini tercermin dalam penekanannya kepada nubuat kemesiasan, kedudukan raja, gelar-gelar ilahi Yesus dan istilah-istilah Aram yang mencirikan bahasa Yunani-Yahudinya. Lukas jelas mencerminkan pola berpikir Helenis. Hal ini terlihat dalam pemakaian bahasa Yunani yang baik, dengan kosakata beragam yang diperkaya dengan sejumlah istilah Semit. Jangkauan Injil Lukas yang menekankan implikasi-impikasi universal Injil, member daya tarik yang unik. (Tenney, 1965: hlm.229-230).

            Ketiga, kita dapat menyoroti usaha bersama para pemimpin jemaat mula-mula untuk menciptakan dasar bagi kontekstualisasi Injil yang berkesinambungan, dengan bekerja secara teratur untuk menyingkirkan sejumlah halangan di dalam maupun di luar jemaat. Bagi sebagian orang, misi yang melampaui atau bahkan melangkahi pranata-pranata Yahudi yang tradisional, sama sekali tidak terbayangkan. Akibatnya, banyak orang percaya mula-mula menolak untuk menginjili orang-orang bukan Yahudi. Hal ini tidak hanya mengancam penyebaran jemaat, melainkan juga menyebabkan persaingan yang serius di dalam jemaat. Petrus dan Paulus, misalnya, dilaporkan telah bergumul dengan masalah-masalah, yang kemudian diselesaikan pada sidang di Yerusalem (Galatia 2:11-16; Kis.15). Namun Allah memacukan dan mengarahkan jemaat mula-mula, seperti terjadi dalam peristiwa pelayanan Petrus kepada Kornelius (Kis.10). Dapat dikatakan bahwa kegiatan orang-orang percaya mula-mula  dalam hal kontekstualisasi, bukanlah semata-mata tanggapan sukarela atau spontan terhadap perbedaan-perbedaan budaya. Malah, Roh Allah mendorong mereka untuk menghapuskan tembok pemisah orang-orang Yahudi dan dunia bukan-Yahudi.

 

Pietisme

            Kita memasuki abad pertengahan abad ke-17. Pada zaman Reformasi misi tampaknya tidak memainkan peranan besar dalam kehidupan jemaat-jemaat Protestan. Hal ini mungkin disebabkan para Reformis sangat sibuk dalam memantapkan struktur-struktur mereka menangkap oposisi (Kontra-Reformasi), dan pada umumnya berjuang untuk bisa bertahan. Pada pihak lain, dapat dikatakan bahwa teologi mereka – dan khususnya ajaran tentang jemaat – sama sekali tidak mendukung visi misioner sedunia.

            Misionaris Protestan pertama, Bartholomeus Ziegenbalg dan Heinrich Plutschau, diutus ke India pada tahun 1705 melalui usaha-usaha bersama dari raja Denmark dan Universitas Halle, yang berada di bawah pimpinan August Francke. Bagi mereka pemberitaan Kabar Baik adalah intisari tugas misioner, dan keyakinan ini membawa kepada pertanyaan konkret,”Bagaimanakah kita dapat memberitakan apa yang telah menguasai hati kita kepada orang lain?” (Muller 1931; hal.301). Pendidikan misionaris pada waktu itu sangat lemah karena para instruktur sendiri tidak mempunyai pengalaman saling silang budaya.

            Spangenberg berbicara tentang seorang teolog yang mengajar calon-calon misionaris yang “semasa hidupnya sama sekali tidak pernah bertemu dengan seorang kafir, apalagi menobatkannya”. (Muller 1931: hal.302). Dengan kekurangan-kekurangan ini cukup dapat dipahami bahwa para misionaris Protestan mula-mula memakai metode-metode yang mengikuti model-model Eropa. Mereka menggunakan kerangka teologi sistematika karangan Freylinghausen sebagai alat dasar, yang mereka telah pelajari di Halle. Pendekatan yang mencerminkan karya ini dilukiskan dalam laporan mula-mula dari India Timur :

            “Bila seseorang berusaha menolong orang-orang malang ini, secara harfiah ia harus berkhotbah kepada mereka agar mereka meninggalkan penyembahan berhala dan menghancurkan dewa-dewa mereka, sebelum ia dapat mengajak mereka kepada Allah yang esa dan kekal. Bila mereka percaya kepada Allah yang tunggal itu, Ia perlu selalu mengingatkan mereka akan sifat-sifat-Nya, untuk menunjukkan kebusukan moral hati manusia, dan kebutuhan untuk bangkit dari kebusukan itu. Ia harus menganjurkan sarana-sarana kasih karunia di dalam Yesus Kristus kepada mereka dengan kesungguhan”. (Muller 1931, hlm.302).

            Dari sini segera tampak bahwa para misionaris mengikuti cara yang sepenuhnya logis atau teologis terhadap hati orang-orang kafir.  Ziegenbalg pada tanggal 15 Agustus 1718 menulis kepada pimpinan misinya bahwa bila mereka ingin mencapai tujuan mereka, pertobatan mereka harus menyentuh kebutuhan-kebutuhan social dan fisik yang mendesak dari orang-orang yang mereka layani (Lehman 1955: hal.136). Akibatnya para misionaris dari India mulai menjajaki cara-cara pelayanan tambahan, termasuk panti-panti asuhan untuk anak yatim dan sekolah-sekolah.

            Sementara mereka mengumpukan pengalaman, para misionaris yang aktif dan pimpinan gerakan pietis Moravia mulai melakukan penyesuaian; yakni, mereka memulai usaha-usaha kontekstualisasi. Misalnya, Von Zinzendorf menasehati para misionarisnya di Greenland agar tidak menggunakan istilah domba dank urban karena di Greenland tidak ada domba dan mereka tidak mengenal kurban. Ia yakin bahwa bila penginjil menggunakan istilah-istilah yang berada di luar kerangka berpikir para pendengarnya, maka proses komunikasi akan menjadi rumit dan tidak akan menghasilkan buah-buah yang diharapkan. “Bila kita tidak berhati-hati,” kata Von Zinzendorf, kelak kita akan membuat mereka mengucapkan mazmur dalam bahasa Latin”. Ia menganjurkan adanya penyesuaian terhadap sifat unik dari masing-masing budaya, bahkan bila hal itu berarti mencari istilah-istilah yang baru.

            Tinjauan historis yang singkat ini telah mengungkapkan bahwa selama berabad-abad orang-orang Kristen telah bergumul dengan implikasi-implikasi dari adanya dunia yang berkebudayaan jamak. Suksesnya memang berbeda-beda. Kegiatan misonaris dari jemaat pasca-rasul mula-mula umumnya terdiri dari kesaksian pribadi dan perdebatan apologetik. Pada abad pertengahan utusan-utusan Kristen berpendidikan tinggi yang diutus oleh kaum bangsawan mengambil pendekatan yang menggunakan model-model Eropa namun segera mencari cara-cara yang kreatif untuk membuat pesan mereka lebih relevan bagi kebudayaan pribumi. Jadi dapat dikatakan, ada berbagai upaya kontekstualisasi, meskipun sikap, pendekatan dan kegiatan yang bersangkutan tidak sepenuhnya sesuai dengan arti istilah itu masa kini.

 

Lahirnya istilah “kontekstualisasi”

            Kata “kontekstualisasi pertama kali muncul dalam terbitan TEF (1972) yakni Theological Education Fund (Dana Pendidikan Teologi) TEF dimulai oleh International Missionary Council pada persidangannya di Ghana pada tahun 1957 – 58, dan mendapat mandate yang pertama – “majulah!” – yang menghasilkan peningkatan dana, buku-buku pelajaran dan fasilitas perpustakaan, dan fasilitas perpustakaan dalam sekolah-sekolah teologi tertentu di Dunia Ketiga. Pada tahun 1961 International Missionary Council bergabung dengan DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia). Hasil gabungan itu terbentuklah temuan yang pertama di Mexico City (1963) member mandate yang kedua kepada TEF –“memikirkan kembali” (1965 – 70). Tujuannya agar meningkatkan jenis pendidikan teologi Dunia Ketiga yang akan menghasilkan “suatu perjumpaan yang sesungguhnya antara mahasiswa dan Injil dengan memakai bentuk-bentuk pemikiran dan kebudayaannya sendiri, dan dialog yang hidup antara jemaat dan lingkungannya” (TEF 1972, hal.13).

            Pada tahun 1969, terbentuklah kelompok penasihat baru bagi TEF yang mengusulkan agar TEF diberi mandate ketiga –“memperbarui” yang dijadwalkan akan berlangsung di tahun 1970 – 1977. Ketua TEF pada masa mandate ketiga ialah Karekin Sarkissian, seorang uskup Gereja Ortodoks Armenia. Pada tahun 1971, Shoki Coe (Taiwan) diangkat menjadi direktur tim TEF yang baru, dengan beberapa pembantu direktur yakni Aharon Sapsezian (Brazil), James Bergquist (AS), Ivy Chou (Malaysia) dan Desmon Tutu (Afrika Selatan). Para pelaksana mandat ketiga ini ditugasi “untuk menolong jemaat-jemaat memperbarui pendidikan calon-calon pelayan Kristen (termasuk pendeta dan pemimpin-pemimpin Kristen lainnya), dengan memberikan bantuan khusus sementara dan pelayanan-pelayanan konsultasi kepada lembaga-lembaga pendidikan teologi dan pusat-pusat latihan lainnya (TEF 1972, hal.17)

            Seperti dinyatakan  dalam dokumen-dokumen resmi, tujuan utama pekerjaan TEF ialah agar Injil diungkapkan dan pelayanan dilakukan sebagai tanggapan kepada :

Ø  Krisis iman yang meluas

Ø  Masalah-masalah keadilan sosial serta pembangunan manusia, dan

Ø  Ketegangan antara situasi-situasi budaya dan agama setempat dan peradaban teknologis yang universal (TEF 1972; hal.17-18)

Sejarah yang disebutkan di atas membuktikan bahwa kontekstualisasi berakar pada ketidakpuasan terhadap model-model pendidikan teologis yang tradisional. Akhirnya kontekstualisasi, yang menekankan keprihatinan menurut tempat dan situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang dimaksudkan bagi semua orang. Jadi kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama.

            Kontekstualisasi menjadi ciri utama refleksi teologi yang otentik. Oleh karena itu, suatu permintaan untuk bantuan yang diajukan kepada TEF akan dinilai mampu membawa pembaharuan, apabila :

ü  Ada bukti kontekstualisasi dalam misi

ü  Ada bukti kontekstualisasi dalam pendekatan teologi

ü  Ada bukti kontekstualisasi di dalam metode pendidikan

ü  Ada bukti kontekstualisasi di dalam struktur.

Apa yang baru? Kontekstualisasi adalah istilah baru atau neologisme teknis. Kata ini pun mungkin menandakan kepekaan baru terhadap kebutuhan menyesuaikan pemberitaan terhadap konteks budaya. Bagi para pencetusnya kontekstualisasi melibatkan titik tolak dan pendekatan baru terhadap upaya berteologi dan pendidikan teologi: yakni praksis atau keterlibatan dalam perjuangan demi keadilan dalam keadaan manusia masa kini.

            Dengan demikian upaya ini melangkah lebih jauh daripada “pempribumian” yang oleh Hendry Venn, Rufus Anderson dan para pengganti mereka dimengeri sebagai konsep jemaat yang otonom. Juga melangkah lebih jauh lagi dari pemahaman Roma Katolik tentang akomodasi yang didefinisikan oleh Luzbetak (1970: hal.341), sebagai “penyesuaian penuh rasa hormat, bijaksana, ilmiah secara teologis sehat dari jemaat kepada budaya pribumi dalam sikap, prilaku luar dan pendekatan kerasulan yang praktis”.

            Para pelaku kontekstualisasi masa kini lebih menguasai ilmu-ilmu sosial daripada para pendahulu mereka, namun mereka kurang bersatu. Malah,  bila kita meneliti usulan yang datang dari sekolah-sekolah, gereja-gereja dan misi-misi di seluruh dunia, maka mungkin saja akan disimpulkan bukan saja tidak ada kesepakatan, bahkan kesepakatan itu tidak tercapai ! Betapapun juga, kita perlu meneliti sejumlah usulan penting yang muncul dari berbagai daerah budaya dan geografis dari gereja di seluruh dunia. Hanya dengan melakukan penelitian itu maka kita akan siap memahami, membandingkan dan menilai usulan-usulan kontekstualisasi masa kini, akhirnya, mengusahakan bentuk kontekstualisasi yang menyenangkan Allah, sesuai dengan firman-Nya, dapat berkomunikasi kepada dunia, dan dapat diterima oleh gereja.

            Diperkenalkanlah beberapa model yang diajukan oleh sejumlah pelaku kontekstualisasi yang terpilih.

Peranan teologi Eropa

            Sepanjang sejarah Kristen, para teolog dan filsuf Eropa sangat mempengaruhi perjalanan debat teologis, bahkan sering menentukan. Siapakah yang belum pernah mendengar nama Bultmann dan usahanya untuk menyesuaikan teologi dengan keadaan Eropa modern, yang disebut demitologisasi? Siswa teologi manakah yang belum pernah ditantang oleh karya-karya Schleiermacher, Barth, Pannenberg dan banyak para teolog Jerman lainnya?

            Karl Rahner (1983), salah seorang dari beberapa teolog sistematik yang membahas soal-soal semacam itu, baru-baru ini berusaha menjelaskan peranan teologi Eropa. Menurut Rahner, refleksi diri adalah salah satu dari tugas terpenting dalam setiap upaya ilmiah, yang harus meneliti factor-faktor historis, budaya, dan sosial yang mempengaruhi munculnya disiplin itu. Namun bila kegiatan ilmiah yang bersangkutan dilangsungkan dalam beberapa konteks sosial-budaya yang berbeda-beda, refleksi diri itu berubah secara radikal dan menjadi semakin kompleks. Teologi sistematik telah dipelajari oleh para pewaris tradisi Yunani-Romawi dalam budaya-budaya Eropa dan kemudian juga di Amerika Utara. Menurur Rahner, teologi Eropa harus berfungsi sebagai pengawal, perantara, pelindung, dan tentu saja sebagai penerima teologi dari keempat penjuru dunia.

v  Pertama, teologi Eropa dapat dipandang sebagai pengawal tradisi. Meskipun kini ada beraneka macam gereja dan teologi, kenyataannya tak dapat dibantah bahwa Eropa dan teologinya menduduki tempat sebagai anak sulung. Karena alasan-alasan yang yang hanya diketahui Allah, Eropa dijangkau oleh Injil lebih awal daripada gereja-gereja yang lebih muda, dan selama berabad-abad Gereja Eropa telah bergumul dengan masalah-masalah teologi, dan telah menghasilkan dokumen-dokumen, serta telah menguji berbagai struktur..

 

Dengan demikian teologi Eropa masa kini melestarikan masa lampau teologi Kristen yang normative bagi semua orang. Memang teologi Eropa membutuhkan pengujian diri yang kritis sama seperti teologi-teologi lain, tetapi dibandingkan dengan teologi-teologi yang lebih muda itu, pengalaman dan kecakapannya membuatnya lebih mampu untuk memenuhi tugas ini.

 

v  Kedua, teologi Eropa dapat menjadi perantara diantara teologi-teologi lain dan coordinator dari banyak model teologi yang kini sedang dikembangkan. Sebagai sumber penyebaran Injil dan induk dari sejumlah gereja muda, serta pendidik banyak teolog Dunia Ketiga, maka komunitas teologi Eropa sangat cocok untuk menjadi perantara dan coordinator. Namun pada suatu hari kelak mungkin teologi-teologi Afrika atau Asia akan mengambil alih peran ini.

 

v  Ketiga, teologi Eropa memberikan perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang mengancam teologi-teologi lainnya. Tugas menyesuaikan teologi dengan budaya menghadapkan para teolog dari Dunia Ketiga kepada sejumlah bahaya. Daya pikir budaya-Kristen, misalnya dapat mempengaruhi seorang teolog dan memikatnya untuk memandang unsure-unsur Injil yang hakiki yang tak dapat ditawar-tawar, sebagai sesuatu yang hanya berbau Eropa dank arena itu dapat dibuang. Para teolog Eropa telah bergumul dengan masalah-masalah yang serupa, sehingga teologi Eropa dapat memberikan pertolongan praktis untuk mencegah pola-pola sinkretis yang akan merusak seluruh gereja.

 

v  Keempat, teologi Eropa sendiri terpanggil untuk tetap belajar. Melalui keterlibatan dalam dialog terbuka dengan teologi-teologi lainnya, teologi Eropa itu sendiri akan diperkaya dan ditantang untuk mempertimbangkan ulang sejumlah masalah yang dianggap telah dipecahkan. Pemeriksaan diri yang diserukan oleh Rahner ini dapat terlihat dalam karya sejumlah teolog Eropa, khususnya dari Jerman. Kasemann (1972), misalnya, menuduh bahwa teologi Eropa modern menekankan pertobatan namun melupakan implikasi-implikasinya untuk hidup sehari-hari, dan dengan demikian menyesatkan orang banyak dan juga para siswa teologi. Meskipun gereja-gereja hadir ditengah-tengah masyarakat “Kristen” di Eropa, demikian pendapat Kasemann, mereka telah menjadi korban dari matriks budayanya sendiri namun perlu menemukan kembali kemerdekaan dengan cara revolusioner.

 

Seorang ahli lain memelopori proses evaluasi diri ini adalan Johann Baptist Mets (1973; 1980a: hal.94-112; 1980b: hal.29-42). Menurut ahli Katolik yang terkenal ini, gereja di Eropa sedang mengalami krisis karena gagal dalam usaha mengaitkan tradisi dan imannya dengan lingkungan sosialnya. Jawaban Mets terhadap tantangan ini adalah suatu “teologi politik”. Dalam teologi tersebut dia berusaha mengadakan pengimbangan terhadap kecendrungan dalam teologi kontemporer yang terlalu menekankan individu. Pada saat yang sama dia berupaya secara positif untuk merumuskan berita eskatologis dalam kondisi-kondisi masyarakat modern.

            Jurgen Moltmann, teolog yang karyanya telah kami pilih untuk ditinjau dalam pasal ini, mencontohkan sikap, kecakapan dan orientasi yang diacu oleh Rahner. Karyanya A Theology of Hope mencerminkan jenis penelaahan teologi yang teliti yang biasanya dikaitkan dengan pengetahuan Eropa. Namun yang lebih penting adalah kerelaan yang diakuinya untuk berpikir secara kristis terhadap tradisi dan budayanya sendiri, sehingga ia tetap mau belajar. Karena alasan-alasan inilah maka gagasan-gagasannya mempunyai dampak besar terhadap teologi pembebasan di Dunia Ketiga.

 

            Misi gereja, menurut Moltmann adalah partisipasi dalam pengutusan Yesus yang membebaskan. Apabila kita – orang-orang miskin, buta dan terbelenggu, mendengar Firman, maka kita mulai merayakan pesta pembebasan. Dalam kasus-kasus lain, gereja belum cukup memenuhi tugasnya, hanya dengan memahami misi sebagai pemberi bantuan keuangan dan bukan memberitakan Firman yang membebaskan. Berita dari Dia yang akan datang itu bersifat membebaskan, sejauh tidak mengancam manusia dengan hukuman kekal. Jadi pengharapan vital yang muncul dari suatu pertentangan teologi intern, juga dari tantangan terbuka terhadap lingkungan yang berdosa. Karena iman mengikat kita kepada Kristus dan membuka masa depan di dalam Kristus, maka pengharapan harus menjadi pendamping tetap bagi iman. Menurut Moltmann, inilah pengharapan yang bagi orang percaya dan gereja merupakan dasar dari suatu teologi yang dikontekstualisasikan. Inilah teologi yang mampu dan rela secara agresif menantang lingkungan politiknya denga tujuan membarui masyarakat.

            Moltmann menyarankan suatu teologi politik, yang paling tepat dipahami sebagai bidang, lingkungan, konteks dan panggung dimana teolog Kristen harus dilakukan pada zaman modern ini. Sambil memandang kepada Salib sebagai pusat perjuangan Kristus dengan kekuatan-kekuatan masyarakat pada masa-Nya, teologi politik mengarahkan salib sebagai alat atau lambing kecaman terhadap apa yang disebut Moltmann sebagai agama politik, yaitu integrasi simbolik dari suatu masyarakat dan agama, atau agama masyarakat (civil religion). Agama politik ini membawa kepada sejumlah berhala yang menindas dan menaklukkan orang di bawah tirani kesombongan dan rasa takut. Agama politik adalah titik pusat bagi kecaman yang dikemukakan teologi politik.

            Kepercayaan Kristen akan Deus crucifixus (Allah yang tersalib) membebaskan manusia dari penyembahan berhala mereka. Karena gereja (komunitas orang percaya) tidak dapat menyamakan dirinya dengan berhala-berhala (struktur-struktur kekuasaan), maka gereja harus membentuk persekutuannya sendiri. Gereja yang telah dibebaskan tidak lagi membutuhkan konfirmasi diri, tak usah membuktikan apapun tetapi dapat dan harus membuka dirinya kepada orang-orang miskin dan tertindas. Gereja tidak dapat lagi dapat tetap tinggal netral secara politik, ia harus mengambil sikap berjuang menuju demokratisasi dan pembebasan kaum tertindas. Harapan tidak hanya berarti masa depan yang terbuka melainkan juga masa depan bagi orang yang tidak berpengharapan.

            Tanggapan Moltmann terhadap kehambaran kekristenan pasca perang di Eropa adalah upaya untuk mengkontekstualisasikan eskatologi Kristen. Teologi pengharapan yang dihasilkannya menekankan keterbukaan yang aktif pada masa kini terhadap masa depan, yang implikasi-implikasinya membawa langsung pada teologi politiknya. Teologi politik ini paling tepat disimpulkan dalam pengertian salib, yang merupakan kritik politik dan juga pengharapan bagi suatu politik kebebasan. Ingatan Moltmann akan Dia yang tersalib itulah yang memaksa dia merangkul teologi politik. (1984:hlm.69).

Di Asia – Teologi Kerbau (Kosuke Koyama)

            Teologi Kerbau lahir dengan bertitik tolak pada realitas pastoral yang ada dalam lingkup masyarakat Muangthai. Dalam pengamatan dan refleksinya, Kosuke Koyama menemukan dua masalah teologis yang menjadi locus theologicus untuk penginjilan di Muangthai, antara lain konfrontasi antara Muangthai satu dan Muangthai dua dan “bermurah hati” dalam teologi tentang pribadi ideal, raja, dan Yesus Kristus. Muangthai satu berarti Muangthai dengan nilai-nilai tradisional yang dibentuk oleh berbagai pengaruh nilai-nilai agama Budha Teravada yang berasal dari India dan Sri Lanka. Ini dicirikan oleh oleh Antropologi dan sejarah yang apatis, suatu pandangan hidup yang dingin yang muncul dari pengamatan yang jujur terhadap kehancuran manusia sebagaimana yang menyebabkan Gautama menarik diri menuju kesunyian hidup.

            Sedangkan Muangthai dua dihasilkan oleh kolonialisme Barat dengan senjata dan menyebabkan luka, namun juga membawa modernitas dan kekristenan. Antropologi barat akhirnya ditelusuri kepada keprihatinan Allah pribadi dengan kasih dan keterlibatan-Nya membuat sejarah Israel menjadi unik di antara sejarah para bangsa di dunia. Sifat antropologi ini adalah sebagai hasil teologi kekristenan, modernisasi dan sekulerisasi.

            Masalah teologi yang kedua bagi Koyama ialah ajaran tentang “bermurah hati”. Ajaran “bermurah hati” merupakan salah satu tradisi yang begitu kuat dan tetap di negeri agama Buddhisme Teravada yang terus menerus dipupuk oleh dua tokoh besar yaitu Gautama Siddharta, sang Buddha, dan Bhumibol Abulyadej, sri baginda raja. Sang Buddha mengajarkan kepada rakyat Thai supaya harus “bermurah hati”. Ajaran ini sedikit bercorak imperative karena dianggap sebagai suatu kekuatan religius yang berasal dari manusia idaman, yakni raja, seorang penganut agama Buddha yang bermurah hati. Dalam kemurahan hatinya, mengalirlah kemuliaan sang raja, ajarannya member keselamatan dan kehadirannya merupakan suatu berkat.

            Teologi Kerbau merupakan suatu bentuk teologi kontekstual; teologi yang berakar pada kondisi riil umat Allah. Karena itu unsur yang juga sangat penting dalam berteologi adalah melihat konteks sejarahnya. Bagi Koyama, sejarah Asia adalah sejarah ‘senjata’ yang meninggalkan luka, tetapi sekaligus sejarah ‘balsem’ yang menyembuhkan dan menyelamatkan jiwa-jiwa orang Asia secara teologis. Dari mulut yang satu keluarlah berkat dan kutuk. Sejarah senjata dan balsam dalam kenyataan konteks Asia selalu berjalan bersamaan. Zaman kolonialisme ini adalah momen perubahan total dan saat terjadinya berbagai goncangan di Asia. Kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan menjadi berantakan.

            Dalam perspektif Koyama, sejarah itu masih berlangsung sampai sekarang. Sebab itu, bagi Koyama, kenyataan ini turut mempengaruhi watak dan struktur relasi barat dan Asia. Barat selalu bersikap keras dalam hubungannya dengan Asia, karena ketamakan perdagangan, dan mau benar sendiri secara teologis. Sebagai seorang pewarta, seorang teolog mesti berkemampuan mengidentifikasi diri sebagai aku yang “doktriner” dan aku yang “misioner”. Aku yang “doktriner” cenderung mewartakan Injil menurut konsep-konsep yang dogmatis dan bertolak dari refleksi Aristotelesian. Ia mewartakan Injil menurut cara pandangnya sendiri. Dalam perspektif ini, seorang pewarta akan melupakan yang lain. Berseberangan dengan itu, aku yang misioner selalu terpanggil untuk hidup di tengah realitas saudara tetangganya, peduli dengan situasi sesamanya, dan bertolak dari keadaan sesamanya itu.

            Sarana untuk mendekati yang lain dalam pewartaan itu ialah tetangga-logi. Menurut Koyama, saudara-saudara tetangga di Asia bersedia mendengarkan berita tentang Kristus, kalau hal itu disampaikan kepada mereka dalam bahasa “tetangga-logi”. Tetapi mereka akan menolak Kristus kalau pewarta menyampaikannya menurut istilah-istilah Kristologi kepada mereka.

            Secara singkat, tujuan Teologi Kerbau menurut Koyama adalah :

ü  Pertama, untuk menyampaikan Yesus Kristus dalam kata-kata yang secara cultural cocok, tetapi juga mengkritisi dan memperbaiki kultur itu sendiri bila dirasa penting dalam pembentukan ‘teologi in locu’.

ü  Kedua, untuk menjadi menjadi interpersonal dan bukannya interdoktrinal dalam proses dialog dan saling memperkaya.

ü  Ketiga, untuk mengejar teologi ekumenis yang dilakukan demi kesehatan ekologis dan keadilan.

Dalam bukunya, Constructing Local Theologies, Robert Schreiter menyebutkan lima kriteria untuk menentukan kesejatian sebuah ungkapan teologi lokal tertentu, untuk memberikan penilaian terhadap Teologi Kerbau dari Koyama sbb :

            Pertama, sebuah rumusan teologi harus memiliki konsistensi internal. Hal ini serupa dengan criteria pertama de Mesa dan Wostyn, menyangkut arah dasar. Bagi orang Kristen, dalil yang mendasar itu ialah “Allah adalah kasih”, dan segala sesuatu yang tidak searah dengannya tidak mungkin menjadi ungkapan teologi Kristen yang benar. Kriteria ini terjawab dalam Teologi Kerbau yang diangkat oleh Kayama dalam ajarannya tentang “bermurah hati”. Namun ajaran ini sedikit bercorak imperatif karena dianggap sebagai suatu kekuatan religius yang berasal dari manusia idaman, yakni raja, seorang penganut agama Buddha yang bermurah hati. Dalam kemurahan hatinya mengalirlah kemuliaan sang raja, ajarannya member keselamatan dan kehadirannya merupakan suatu berkat. Keyakinan ini menimbulkan aneka problem teologis bagi bagi Kristologi. Hubungan apakah yang ada antara sikap bermurah hati yang ditunjukkan oleh sang Buddha dan sikap bermurah hati yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus?

            Kedua, sebuah ungkapan yang benar tentang teologi kontekstual mesti bisa diterjemahkan ke dalam ulah kebaktian. Apa yang terjadi ketika teologi di bawah masuk ke dalam konteks peribadatan? Bagaimana teologi ini dapat berkembang dalam komunitas gereja yang berdoa? Apa yang terjadi dengan sebuah jemaat yang memasukkan teologi ke dalam doa mereka? Pertanyaan-pertanyaan Schreiter ini turut menentukan kesejatian sebuah ungkapan teologi tertentu. Ajaran-ajaran dalam Teologi Kerbau sangah muda diterjemahkan ke dalam ulah kebaktian. Disamping ajarannya yang tidak bertentangan dengan gereja, Teologi Kerbau mudah diterjemahkan dalam kehidupan konkrit karena sesuai dengan konteks umat setempat. Dalam epilognya pada edisi 25 tahun Teologi Kerbau, Koyama dengan lebih tegas menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Epilog tersebut diakhiri dengan sebuah refleksi atas meluasnya kekerasan di hampir semua tempat di dunia yang walaupun dilawan dalam setiap kehidupan religius, tetap menjadi misteri yang hanya bisa diekspos melalui Ekaristi. Disini Koyama menyadari bahwa Ekaristi adalah puncak dari iman Kristiani. Ajaran teologinya tetap memandang Ekaristi sebagai praktek  liturgy yang hakiki.

            Ketiga, tidak boleh bersifat eksklusif atau bertentangan dengan yang sebelumnya. Teologi Kerbau merupakan sebentuk teologi yang sungguh-sungguh menghargai konteks dimana Injil diwartakan. Ia menaruh perhatian besar pada kekayaan realitas yang mengitari konteks pewartaan Injil. Konteks yang dimaksudkan disini ialah situasi sosial, adat-istiadat, budaya, kepercayaan, konsep-konsep atau cara pandang yang sedang dihidupi oleh sesame tentang realitas. Inilah yang Kosuke Koyama sebut sebagai “tetangga-logi”. Ajaran dalam Teologi Kerbau tidak bertentangan dengan yang sebelumnya. Secara sepintas terkesan ide Koyama bertentangan dengan doktrin-doktrin yang dihasilkan sebelumnya. Namun sebenarnya ia tidak menolak doktrin-doktrin itu. Koyama hanya mengkritisi cara pewartaan Injil yang cenderung menggunakan konsep-konsep yang dogmatis dan bertolak dari refleksi Aristoteles yang terkesan kaku dan sulit dipahami. Ajaran Gereja tetap dijunjung tinggi, namun cara mewartakan Injil yang bersifat dogmatis perlu diganti dengan cara baru sesuai dengan konteks riil, sehingga dapat dipahami oleh umat.

            Keempat, sebuah teologi local atau perumusan teologis yang sedang berkembang harus terbuka terhadap kritik dari Gereja-Gereja lain. Teologi Kerbau pada dasarnya hendak memahami yang particular dari perspektif Kristiani. Suatu realitas local baik budaya, sosial maupun ajaran religius disoroti dalam terang Alkitab dam tradisi mendapat arti baru dalam konteks budaya tertentu. Jika demikian, maka terjadilah suatu proses kontekstualisasi dengan menghargai yang particular. Partikularitas merupakan bagian dari yang universal. Kesadaran ini berdasar pada Gereja Yesus Kristus yang universal dan selalu berarti kudus dan Katolik. Karena itu, tujuan kontekstualisasi yang searah  dengan Teologi Kerbau adalah dengan menciptakan sikap saling menghargai kepribadian masing-masing, saling belajar dan tidak memaksakan unsur-unsur budaya sendiri sebagai suatu Kebenaran Injil yang harus diterima oleh budaya lain. Dalam hal ini Teologi Kerbau selalu bersifat terbuka dan memberikan ruang kebebasan bagi setiap kritikan.

            Kelima,  teologi harus memberikan sumbangsih positif menyangkut ikhwal dialog diantara rupa-rupa kontekstual, maka vitalitas semacam itu menjadi tanda bahwa ia merupakan pengukuhan iman yang sejati. Teologi Kerbau sesungguhnya adalah ungkapan lain dari teologi kontekstual. Sebab teologi kontekstual selalu berarti dialog intens antara teks dan konteks. Teks merujuk ke pengalaman masa lalu, sedangkan konteks meliputi pengalaman aktual masa kini. Dalam Teologi Kerbau, Koyama mampu mewartakan Injil secara kontekstual dan berdaya transformative bagi umat. Koyama mengajarkan kepada para pewarta Injil agar mengalami secara langsung umat Allah sebagai subjek pewartaan, karena pengalaman langsung itu jauh lebih kaya dan aktual dari yang kita pelajari melalui doktrin-doktrin atau ajaran-ajarannya. Disini Teologi Kerbau memberikan sumbangsih yang sangat berarti bagi perkembangan rupa-rupa teologinya mulai dari hal-hal riil dan sederhana yang sesuai konteks umat setempat agar bisa dipahami dengan baik.

            Kesimpulan, Teologi Kerbau mampu menjawab semua criteria yang menentukan kesejatian sebuah ungkapan teologi lokal. Rumusan teologinya memiliki konsistensi internal, tidak bertentangan dengan yang sebelumnya dan bisa diterjemahkan ke dalam ulah kebaktian. Sebagai sebuah teologi lokal, Teologi Kerbau bersifat terbuka terhadap kritik dari Gereja-Gereja lain sembari memberikan sumbangsih positif menyangkut ikhwal dialog di antara rupa-rupa teologi kontekstual. Teologi Kerbau berusaha untuk berteologi dari bawah. Ia bertolak dari dari realitas konkrit menuju Firman Allah. Ia menuntut suatu cara berteologi yang sungguh-sungguh mengenal situasi riil umat agar bisa menghasilkan iman dan pertobatan dalam diri umat. Rumusan bahasa pewartaan juga mesti sederhana, tidak mengawang-awang tapi mendarat pada pengalaman nyata umat yang di injili.

Demikian pemaparan Kristologi Postkolonialisme dengan mengambil contoh kontekstualisasi di Eropa dan Asia (Muangthai).

 Tuhan Yesus Memberkati

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar