Kata pengantar
Dunia misiologi sudah penuh dengan gagasan-gagasan
seperti pempribumian, komunikasi, konseptualisasi, penjelmaan, inkulturisasi
dan last but least kontekstualisasi. Karena belum ada difinisi-definisi yang
umum diterima, istilah-istilah tersebut dipergunakan secara luas dan hangat
diperdebatkan di kalangan misiologi.
Dr.Hesselgrave dan
Dr.Rommen adalah dua pakar misiologi dari Amerika
Utara, yang telah meninjau pandangan-pandangan tentang kontekstualisasi dari
seluruh dunia. Yang menjadi dasar dari buku tersebut adalah sederhana yakni
kontekstualisasi, melalui suatu kebutuhan yang mendesak. Disertai beberapa
asumsi sebagai berikut :
1. Amanat
Agung dari Yesus Kristus harus digenapi dan dunia harus mendengar Injil.
2. Bagaimanapun
kita memahami penginjilan dunia, paling tidak sudah termasuk di dalamnya
pemberitaan Injil dengan cara yang dapat dimengerti.
3. Bila
Injil itu akan dimengerti, harus ada kontekstualisasi.
Hasil
kontekstualisasi harus cocok dengan kewibawaan dan berita Alkitab, dan pada
pihak lain harus dikaitkan dengan latar belakang budaya, bahasa dan agama para
penerima. Menjelaskan dan mengevaluasi pelbagai makna, metode dan model
kontekstualisasi. Upaya ini mengandung sejumlah risiko.
KONTEKTUALISASI DALAM ALKITAB
Dalam 2 Raja-raja 18 dimuat laporan
mengenai pengepungan Yerusalem oleh raja Asyur, Sanherib. Setelah raja Sanherib
menuntut upeti yang amat besar (ayat 14-16), ia menjadi semakin berani, karena
Hizkia terlihat lemah dan ia menuntut penyerahan total dari kota itu. Di
tengah-tengah konfrontasi itu, suatu delegasi Asyur mendekati gerbang kota
Yerusalem untuk merundingkan penyerahan. Para anggotanya mengerti bahasa
Ibrani, dan panglima tentaranya mulai menggambarkan akibat-akibat negatif yang
akan dialami kota Yerusalem apabila penduduknya tidak menyerah. Bualan orang
Asyur ini dimaksudkan untuk menghancurkan keberanian Hizkia.
Para utusan Hizkia tidak ingin
rakyat mereka yang sudah berkumpul di dinding kota mendengar percakapan yang
meresahkan ini. Karena itu mereka meminta panglima Asyur untuk melanjutkan
percakapannya dalam bahasa Aram. Sang panglima menolaknya, serta mulai
berbicara kepada rakyat dalam bahasa Ibrani. Dalam peristiwa ini jelas ada
usaha untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan bahasa agar dapat mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Para utusan Hizkia berusaha memperoleh keuntungan
dengan menggunakan bahasa lawan mereka. Tetapi apakah ini contoh
kontekstualisasi? Bukan, paling tidak dalam pengertian modern kata itu. Lalu
apa yang kita dapat temukan dalam Alkitab yang menjembatani perbedaan-perbedaan
bahasa dan budaya agar maksud-maksud Allah, dan bukan rencana-rencana manusia,
dapat tercapai?
Pemahaman dan pendekatan kita
terhadap kontekstualisasi seperti yang muncul dalam Alkitab sebagian akan
tergantung pada kemampuan kita untuk menemukan usaha-usaha aktif dan yang
sengaja dilakukan, untuk menyampaikan suatu berita agamawi yang isinya khusus
dan jelas melalui lintas budaya.
Dalam PL (Perjanjian Lama) sulit
ditemukan contoh-contoh komunikasi lintas budaya dalam hal suatu berita
keagamaan yang khusus. Namun demikian, tampaknya perjumpaan lintas budaya
tidaklah sedikit, misalnya dalam politik ( Yos.9; 1 Raj.15:16-22 ), agama
( Hak.6:31-32; 1 Raj.18:1-40; Zef.1:4-8 ), perdagangan ( 2 Taw.8:17-18;
9:21; Yeh.27:12-25 ) dan seni ( Yeh.23:11-21 ).
Nabi Yeremia mengirim surat kepada
orang-orang Yahudi yang tinggal di pembuangan di Babel ( Yer.29 ). Surat ini
menganjurkan adaptasi secara sadar dan sengaja, yang tidak jauh dari pemahaman
modern tentang kontekstualisasi. Nabi mendesak para pembaca suratnya agar
menantikan dengan sabar pembebasan oleh Tuhan, dan mendorong mereka untuk
membangun rumah, menanam kebun, dan memakan apa yang mereka hasilkan: yang
merupakan imbauan untuk menjalani kehidupan yang normal. Lagipula, ia menyuruh
mereka:”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana Aku buang” (ayat 7). Istilah
“usahakanlah” (darasy) harus dipahami dalam pengertian “bekerja untuk mencapai
sesuatu atau atas nama seseorang”.
Dengan demikian, mengusahakan
kesejahteraan kita berarti,”meningkatkannya dengan usaha-usaha mereka sendiri
dan memeliharanya dengan hati-hati” (Calvin 1852: hal.420 catatan 1). Jadi
peringatan-peringatan Yeremia dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Yahudi
agar aktif memberi sumbangan bagi kesejahteraan umum kota Babel. Meskipun
penyampaian suatu berita khusus tidak disebutkan, namun perintah untuk
“berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan” mengisyaratkan bahwa kegiatan mereka
didasarkan, paling tidak sebagian, pada hubungan perjanjian yang unik antara
bangsa Yahudi dengan Allah.
Memberikan sumbangan positif pada
kebudayaan dan kehidupan Babel melibatkan lebih daripada sekadar mengatasi
halangan-halangan kebudayaan. Orang-orang Yahudi harus menjalani kehidupan
beriman mereka dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan Babel itu, namun tetap
beriman Yahudi. Namun demikian, walaupun mereka mewujudkan iman secara tepat,
belum tentu mereka juga memberitakannya kepada orang lain.
Pendekatan lebih seimbang
dikemukakan oleh Blaw (1962).
Menurutnya, teologi misi tidak boleh dialaskan pada dasar yang sempit seperti
beberapa ayat tertentu. Dasarnya adalah kesaksian Alkitab secara menyeluruh
yang dipahami sebagai kesatuan yang utuh. Pada waktu itu PL (Perjanjian Lama)
diteliti dengan cara ini, sang peneliti tiba-tiba diperhadapkan dengan banyak
bahan yang secara langsung berhubungan dengan tanggung jawab missioner Israel.
Misalnya, orang-orang Yahudi bertanggung jawab bagi “orang-orang asing”, yaitu
orang bukan Israel yang menetap di Israel. Orang-orang asing itu harus tunduk
pada banyak aturan keagamaan seperti halnya yang dilakukan orang-orang Yahudi
(Kel.12:19; Bil.15:15-16), misalnya hukum Sabat (Kel.20:10), Hari Pendamaian
(Im.16:29), Paskah (Bil.9:14; Kel.12:48), sunat (Kel.12:48), pemberian kurban
(Im.17:8-9) dan ibadah (2 Taw.6:32-33). Ulangan 31:12 memerintahkan Israel agar
mengajar orang-orang asing itu agar merekapun mengenal kebesaran Allah.
Tetapi bila orang Israel bertanggung
jawab untuk berkomunikasi secara lintas budaya, dan bila kegiatan tersebut
ternyata melibatkan mereka dalam semacam bentuk kontekstualisasi, mengapa kita
menemukan hanya sedikit contoh tentang kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama,
kalaupun ada, beberapa hal dapat diajukan sbb :
1. Kita
harus memperhatikan kenyataan bahwa Allah secara jelas melarang Israel
mengadakan perjanjian politik dan keagamaan dengan bangsa-bangsa tertentu
(Kel.23:20-33; 34:10-16). Misalnya, ketika Israel memasuki Kanaan, mereka
dituntut untuk mengusir semua bangsa lain: ini merupakan suatu bentuk
ekslusivisme kebudayaan. Sudah tentu, kebijaksanaan ini adalah untuk
melestarikan hubungan yang unik antara
Israel dengan Allah dan kemurnian rohaninya. Karena itu tidak ada penyesuaian atau adaptasi dengan keagamaan dalam
lingkungan yang baru. Malah, Allah menuntut agar Israel merubuhkan dan
menghancurkan sama sekali semua tugu-tugu pemujaan dan tiang-tiang berhala
orang Kanaan. (Kel.34:13). Hal ini menolong Israel mempertahankan kesetiaannya
kepada perjanjian dengan Allah, tetapi sama sekali tidak membantu proses
kontekstualisasi seperti yang kita pahami. Yang menarik, Israel tidak hanya
gagal dalam menerapkan rancangan Allah dan menghapuskan ancaman ini
(Hak.1:27-33) tetapi bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu bangsa Kanaan,
yaitu orang-orang Gibeon (Yos.9). Akibatnya, mereka mengalami tekanan kuat yang
membawa mereka maju mundur diantara pemberontakan terbuka melawan Allah pada
satu pihak, dan pada pihak lain apa yang dalam kasus-kasus tertentu berkembang
menjadi isolasi yang perlu tetapi berlebih-lebihan, ketika berjuang demi
keberadaan mereka sendiri. Dalam keadaan ini penyesuaian sehat dengan
perbedaan-perbedaan kebudayaan sangatlah dibatasi.
2. Proses
kontekstualisasi dihalangi oleh tidak adanya berita keagamaan yang jelas.
Karena hakikat Injil Kristen adalah kematian dan kebangkitan Kristus, maka
berita yang disampaikan pada masa sebelum Kristus datang, tidak sejelas seperti
halnya setelah kebangkitan Kristus.
3. Karena
orientasinya yang etnosentris, maka pada zaman Perjanjian Lama komunitas
perjanjian umumnya mengabaikan tanggung jawab misioner apapun. Orang-orang
Yahudi tidak tampak aktif dalam memberitakan berita keagamaan kepada orang
bukan-Yahudi, meskipun mereka dikelilingi oleh banyak kelompok etnis yang
berbeda.
Perjanjian
Baru memperlihatkan serangkaian keadaan yang amat berbeda, sehingga berguna
dalam kontekstualisasi. Pertama, kedatangan Kristus dan penggenapan karya
penyelamatan-Nya memberikan focus bagi kita berita keagamaan. Setelah
peristiwa-peristiwa Paskah, para pendengar tidak hanya diundang untuk menerima
bagian yang bersifat tambahan belaka dalam hubungan perjanjian Israel dengan
Yahweh. Kepada mereka ditawarkan suatu jalan praktis yang dapat diwujudkan
untuk menuju keselamatan pribadi – Sola Gratia, In Christo, per fidem.
Kedua, dokumen-dokumen Perjanjian
Baru tidaklah pertama-tama bersifat deskriptif. Artinya, dokumen-dokumen itu
tidak saja melaporkan penyebaran misi jemaat, melainkan justru merupakan
alat-alat yang digunakan dalam penyebaran tersebut. Dengan kata lain,
dokumen-dokumen ini tercipta justru oleh program misioner yang sedang
berlangsung. Karena alas an-alasan inilah, maka lebih mudah untuk mengenal
contoh-contoh kontekstualisasi yang leb dengan situasi yang dihadapi dalam
dunia modern kita yang berbudaya majemuk dalam Perjanjian Baru. Situasi-situasi
ini tidak hanya melibatkan usaha-usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan
dengan menyesuaikan diri dengan menggunakan perbedaan-perbedaan kebudayaan,
melainkan juga penyampaian yang dilakukan secara sadar dan sengaja dari suatu
berita keagamaan yang jelas.
Ada sejumlah cara untuk meneliti
kegiatan kontekstualisasi dalam perjanjian Baru. Pertama, kita dapat mengarahkan perhatian kepada orang-orang
percaya yang ketika berhadapan dengan halangan-halangan terhadap
kontekstualisasi, berusaha mengembangkan cara dan sarana untuk mengatasinya.
Ini tidak berarti bahwa setiap contoh dilukiskan dengan rapi. Bahkan,
laporan-laporan Perjanjian Baru memberikan bukti mengenai ketegangan yang
timbul pada saat orang-orang percaya pertama bergumul untuk melakukan transisi
kepada budaya-budaya lain. Karena alasan ini, dalam Perjanjian Baru ada
contoh-contoh perjumpaan lintas budaya yang mirip dengan apa yang ditemukan
dalam Perjanjian Lama (termasuk beberapa kegagalan). Ada perjumpaan-perjumpaan
di bidang politik (Kis.16:19-40), agama dan filsafat (Kis.17:16-34), sihir
(Kis.13:4-12) dan ekonomi (Kis.19:23-41).
Kedua,
kita dapat memusatkan perhatian pada hasil kegiatan sastra yang dilakukan oleh
orang yang berusaha mengkontekstualisasikan pemberitaannya, yaitu terbentuknya
dokumen-dokumen Perjanjian Baru itu sendiri. Masing-masing kitab Injil,
misalnya, mencerminkan kebudayaan penulisnya dan jelas ditujukan kepada siding
pembaca yang khusus. Injil Matius bersifat Yahudi. Hal ini tercermin dalam
penekanannya kepada nubuat kemesiasan, kedudukan raja, gelar-gelar ilahi Yesus
dan istilah-istilah Aram yang mencirikan bahasa Yunani-Yahudinya. Lukas jelas
mencerminkan pola berpikir Helenis. Hal ini terlihat dalam pemakaian bahasa
Yunani yang baik, dengan kosakata beragam yang diperkaya dengan sejumlah
istilah Semit. Jangkauan Injil Lukas yang menekankan implikasi-impikasi
universal Injil, member daya tarik yang unik. (Tenney, 1965: hlm.229-230).
Ketiga,
kita dapat menyoroti usaha bersama para pemimpin jemaat mula-mula untuk
menciptakan dasar bagi kontekstualisasi Injil yang berkesinambungan, dengan
bekerja secara teratur untuk menyingkirkan sejumlah halangan di dalam maupun di
luar jemaat. Bagi sebagian orang, misi yang melampaui atau bahkan melangkahi
pranata-pranata Yahudi yang tradisional, sama sekali tidak terbayangkan.
Akibatnya, banyak orang percaya mula-mula menolak untuk menginjili orang-orang
bukan Yahudi. Hal ini tidak hanya mengancam penyebaran jemaat, melainkan juga
menyebabkan persaingan yang serius di dalam jemaat. Petrus dan Paulus,
misalnya, dilaporkan telah bergumul dengan masalah-masalah, yang kemudian
diselesaikan pada sidang di Yerusalem (Galatia 2:11-16; Kis.15). Namun Allah
memacukan dan mengarahkan jemaat mula-mula, seperti terjadi dalam peristiwa
pelayanan Petrus kepada Kornelius (Kis.10). Dapat dikatakan bahwa kegiatan
orang-orang percaya mula-mula dalam hal
kontekstualisasi, bukanlah semata-mata tanggapan sukarela atau spontan terhadap
perbedaan-perbedaan budaya. Malah, Roh Allah mendorong mereka untuk
menghapuskan tembok pemisah orang-orang Yahudi dan dunia bukan-Yahudi.
Pietisme
Kita memasuki abad pertengahan abad
ke-17. Pada zaman Reformasi misi tampaknya tidak memainkan peranan besar dalam kehidupan
jemaat-jemaat Protestan. Hal ini mungkin disebabkan para Reformis sangat sibuk
dalam memantapkan struktur-struktur mereka menangkap oposisi
(Kontra-Reformasi), dan pada umumnya berjuang untuk bisa bertahan. Pada pihak
lain, dapat dikatakan bahwa teologi mereka – dan khususnya ajaran tentang
jemaat – sama sekali tidak mendukung visi misioner sedunia.
Misionaris Protestan pertama, Bartholomeus Ziegenbalg dan Heinrich
Plutschau, diutus ke India pada tahun 1705 melalui usaha-usaha bersama dari
raja Denmark dan Universitas Halle, yang berada di bawah pimpinan August
Francke. Bagi mereka pemberitaan Kabar Baik adalah intisari tugas misioner, dan
keyakinan ini membawa kepada pertanyaan konkret,”Bagaimanakah kita dapat
memberitakan apa yang telah menguasai hati kita kepada orang lain?” (Muller
1931; hal.301). Pendidikan misionaris pada waktu itu sangat lemah karena para
instruktur sendiri tidak mempunyai pengalaman saling silang budaya.
Spangenberg
berbicara tentang seorang teolog yang mengajar calon-calon misionaris yang
“semasa hidupnya sama sekali tidak pernah bertemu dengan seorang kafir, apalagi
menobatkannya”. (Muller 1931: hal.302). Dengan kekurangan-kekurangan ini cukup
dapat dipahami bahwa para misionaris Protestan mula-mula memakai metode-metode yang
mengikuti model-model Eropa. Mereka menggunakan kerangka teologi sistematika
karangan Freylinghausen sebagai alat dasar, yang mereka telah pelajari di
Halle. Pendekatan yang mencerminkan karya ini dilukiskan dalam laporan
mula-mula dari India Timur :
“Bila seseorang berusaha menolong
orang-orang malang ini, secara harfiah ia harus berkhotbah kepada mereka agar
mereka meninggalkan penyembahan berhala dan menghancurkan dewa-dewa mereka,
sebelum ia dapat mengajak mereka kepada Allah yang esa dan kekal. Bila mereka
percaya kepada Allah yang tunggal itu, Ia perlu selalu mengingatkan mereka akan
sifat-sifat-Nya, untuk menunjukkan kebusukan moral hati manusia, dan kebutuhan
untuk bangkit dari kebusukan itu. Ia harus menganjurkan sarana-sarana kasih
karunia di dalam Yesus Kristus kepada mereka dengan kesungguhan”. (Muller 1931,
hlm.302).
Dari sini segera tampak bahwa para
misionaris mengikuti cara yang sepenuhnya logis atau teologis terhadap hati
orang-orang kafir. Ziegenbalg pada tanggal 15 Agustus 1718 menulis kepada pimpinan
misinya bahwa bila mereka ingin mencapai tujuan mereka, pertobatan mereka harus
menyentuh kebutuhan-kebutuhan social dan fisik yang mendesak dari orang-orang
yang mereka layani (Lehman 1955: hal.136). Akibatnya para misionaris dari India
mulai menjajaki cara-cara pelayanan tambahan, termasuk panti-panti asuhan untuk
anak yatim dan sekolah-sekolah.
Sementara mereka mengumpukan
pengalaman, para misionaris yang aktif dan pimpinan gerakan pietis Moravia mulai
melakukan penyesuaian; yakni, mereka memulai usaha-usaha kontekstualisasi.
Misalnya, Von Zinzendorf menasehati
para misionarisnya di Greenland agar tidak menggunakan istilah domba dank urban
karena di Greenland tidak ada domba dan mereka tidak mengenal kurban. Ia yakin
bahwa bila penginjil menggunakan istilah-istilah yang berada di luar kerangka
berpikir para pendengarnya, maka proses komunikasi akan menjadi rumit dan tidak
akan menghasilkan buah-buah yang diharapkan. “Bila kita tidak berhati-hati,” kata
Von Zinzendorf, kelak kita akan membuat mereka mengucapkan mazmur dalam bahasa
Latin”. Ia menganjurkan adanya penyesuaian terhadap sifat unik dari
masing-masing budaya, bahkan bila hal itu berarti mencari istilah-istilah yang
baru.
Tinjauan historis yang singkat ini
telah mengungkapkan bahwa selama berabad-abad orang-orang Kristen telah
bergumul dengan implikasi-implikasi dari adanya dunia yang berkebudayaan jamak.
Suksesnya memang berbeda-beda. Kegiatan misonaris dari jemaat pasca-rasul
mula-mula umumnya terdiri dari kesaksian pribadi dan perdebatan apologetik.
Pada abad pertengahan utusan-utusan Kristen berpendidikan tinggi yang diutus
oleh kaum bangsawan mengambil pendekatan yang menggunakan model-model Eropa
namun segera mencari cara-cara yang kreatif untuk membuat pesan mereka lebih
relevan bagi kebudayaan pribumi. Jadi dapat dikatakan, ada berbagai upaya
kontekstualisasi, meskipun sikap, pendekatan dan kegiatan yang bersangkutan
tidak sepenuhnya sesuai dengan arti istilah itu masa kini.
Lahirnya istilah
“kontekstualisasi”
Kata “kontekstualisasi pertama kali
muncul dalam terbitan TEF (1972) yakni Theological Education Fund (Dana
Pendidikan Teologi) TEF dimulai oleh International Missionary Council pada
persidangannya di Ghana pada tahun 1957 – 58, dan mendapat mandate yang pertama
– “majulah!” – yang menghasilkan peningkatan dana, buku-buku pelajaran dan
fasilitas perpustakaan, dan fasilitas perpustakaan dalam sekolah-sekolah
teologi tertentu di Dunia Ketiga. Pada tahun 1961 International Missionary Council
bergabung dengan DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia). Hasil gabungan itu
terbentuklah temuan yang pertama di Mexico City (1963) member mandate yang
kedua kepada TEF –“memikirkan kembali” (1965 – 70). Tujuannya agar meningkatkan
jenis pendidikan teologi Dunia Ketiga yang akan menghasilkan “suatu perjumpaan
yang sesungguhnya antara mahasiswa dan Injil dengan memakai bentuk-bentuk
pemikiran dan kebudayaannya sendiri, dan dialog yang hidup antara jemaat dan
lingkungannya” (TEF 1972, hal.13).
Pada tahun 1969, terbentuklah
kelompok penasihat baru bagi TEF yang mengusulkan agar TEF diberi mandate
ketiga –“memperbarui” yang dijadwalkan akan berlangsung di tahun 1970 – 1977.
Ketua TEF pada masa mandate ketiga ialah Karekin
Sarkissian, seorang uskup Gereja Ortodoks Armenia. Pada tahun 1971,
Shoki Coe (Taiwan) diangkat menjadi direktur tim TEF yang baru, dengan beberapa
pembantu direktur yakni Aharon Sapsezian (Brazil), James Bergquist (AS), Ivy
Chou (Malaysia) dan Desmon Tutu (Afrika Selatan). Para pelaksana mandat ketiga
ini ditugasi “untuk menolong jemaat-jemaat memperbarui pendidikan calon-calon
pelayan Kristen (termasuk pendeta dan pemimpin-pemimpin Kristen lainnya),
dengan memberikan bantuan khusus sementara dan pelayanan-pelayanan konsultasi
kepada lembaga-lembaga pendidikan teologi dan pusat-pusat latihan lainnya (TEF
1972, hal.17)
Seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen resmi, tujuan utama
pekerjaan TEF ialah agar Injil diungkapkan dan pelayanan dilakukan sebagai
tanggapan kepada :
Ø Krisis
iman yang meluas
Ø Masalah-masalah
keadilan sosial serta pembangunan manusia, dan
Ø Ketegangan
antara situasi-situasi budaya dan agama setempat dan peradaban teknologis yang
universal (TEF 1972; hal.17-18)
Sejarah
yang disebutkan di atas membuktikan bahwa kontekstualisasi berakar pada
ketidakpuasan terhadap model-model pendidikan teologis yang tradisional.
Akhirnya kontekstualisasi, yang menekankan keprihatinan menurut tempat dan
situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang
dimaksudkan bagi semua orang. Jadi kontekstualisasi pada akhirnya membantu
solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama.
Kontekstualisasi menjadi ciri utama
refleksi teologi yang otentik. Oleh karena itu, suatu permintaan untuk bantuan
yang diajukan kepada TEF akan dinilai mampu membawa pembaharuan, apabila :
ü Ada
bukti kontekstualisasi dalam misi
ü Ada
bukti kontekstualisasi dalam pendekatan teologi
ü Ada
bukti kontekstualisasi di dalam metode pendidikan
ü Ada
bukti kontekstualisasi di dalam struktur.
Apa
yang baru? Kontekstualisasi adalah istilah baru atau neologisme teknis.
Kata ini pun mungkin menandakan kepekaan baru terhadap kebutuhan menyesuaikan
pemberitaan terhadap konteks budaya. Bagi para pencetusnya kontekstualisasi
melibatkan titik tolak dan pendekatan baru terhadap upaya berteologi dan
pendidikan teologi: yakni praksis atau keterlibatan dalam perjuangan demi
keadilan dalam keadaan manusia masa kini.
Dengan demikian upaya ini melangkah
lebih jauh daripada “pempribumian” yang oleh Hendry Venn, Rufus Anderson dan para pengganti mereka
dimengeri sebagai konsep jemaat yang otonom. Juga melangkah lebih jauh lagi
dari pemahaman Roma Katolik tentang akomodasi yang didefinisikan oleh Luzbetak
(1970: hal.341), sebagai “penyesuaian penuh rasa hormat, bijaksana, ilmiah
secara teologis sehat dari jemaat kepada budaya pribumi dalam sikap, prilaku
luar dan pendekatan kerasulan yang praktis”.
Para pelaku kontekstualisasi masa
kini lebih menguasai ilmu-ilmu sosial daripada para pendahulu mereka, namun
mereka kurang bersatu. Malah, bila kita
meneliti usulan yang datang dari sekolah-sekolah, gereja-gereja dan misi-misi
di seluruh dunia, maka mungkin saja akan disimpulkan bukan saja tidak ada kesepakatan,
bahkan kesepakatan itu tidak tercapai ! Betapapun juga, kita perlu meneliti
sejumlah usulan penting yang muncul dari berbagai daerah budaya dan geografis
dari gereja di seluruh dunia. Hanya dengan melakukan penelitian itu maka kita
akan siap memahami, membandingkan dan menilai usulan-usulan kontekstualisasi
masa kini, akhirnya, mengusahakan bentuk kontekstualisasi yang menyenangkan
Allah, sesuai dengan firman-Nya, dapat berkomunikasi kepada dunia, dan dapat
diterima oleh gereja.
Diperkenalkanlah beberapa model yang
diajukan oleh sejumlah pelaku kontekstualisasi yang terpilih.
Peranan teologi Eropa
Sepanjang sejarah Kristen, para
teolog dan filsuf Eropa sangat mempengaruhi perjalanan debat teologis, bahkan
sering menentukan. Siapakah yang belum pernah mendengar nama Bultmann dan
usahanya untuk menyesuaikan teologi dengan keadaan Eropa modern, yang disebut
demitologisasi? Siswa teologi manakah yang belum pernah ditantang oleh
karya-karya Schleiermacher, Barth, Pannenberg dan banyak para teolog Jerman
lainnya?
Karl
Rahner (1983), salah seorang dari beberapa teolog sistematik yang membahas
soal-soal semacam itu, baru-baru ini berusaha menjelaskan peranan teologi
Eropa. Menurut Rahner, refleksi diri adalah salah satu dari tugas terpenting
dalam setiap upaya ilmiah, yang harus meneliti factor-faktor historis, budaya,
dan sosial yang mempengaruhi munculnya disiplin itu. Namun bila kegiatan ilmiah
yang bersangkutan dilangsungkan dalam beberapa konteks sosial-budaya yang
berbeda-beda, refleksi diri itu berubah secara radikal dan menjadi semakin
kompleks. Teologi sistematik telah dipelajari oleh para pewaris tradisi
Yunani-Romawi dalam budaya-budaya Eropa dan kemudian juga di Amerika Utara.
Menurur Rahner, teologi Eropa harus berfungsi sebagai pengawal, perantara,
pelindung, dan tentu saja sebagai penerima teologi dari keempat penjuru dunia.
v Pertama,
teologi Eropa dapat dipandang sebagai pengawal tradisi. Meskipun kini ada
beraneka macam gereja dan teologi, kenyataannya tak dapat dibantah bahwa Eropa
dan teologinya menduduki tempat sebagai anak sulung. Karena alasan-alasan yang
yang hanya diketahui Allah, Eropa dijangkau oleh Injil lebih awal daripada
gereja-gereja yang lebih muda, dan selama berabad-abad Gereja Eropa telah
bergumul dengan masalah-masalah teologi, dan telah menghasilkan
dokumen-dokumen, serta telah menguji berbagai struktur..
Dengan
demikian teologi Eropa masa kini melestarikan masa lampau teologi Kristen yang
normative bagi semua orang. Memang teologi Eropa membutuhkan pengujian diri
yang kritis sama seperti teologi-teologi lain, tetapi dibandingkan dengan
teologi-teologi yang lebih muda itu, pengalaman dan kecakapannya membuatnya
lebih mampu untuk memenuhi tugas ini.
v Kedua,
teologi Eropa dapat menjadi perantara diantara teologi-teologi lain dan
coordinator dari banyak model teologi yang kini sedang dikembangkan. Sebagai
sumber penyebaran Injil dan induk dari sejumlah gereja muda, serta pendidik
banyak teolog Dunia Ketiga, maka komunitas teologi Eropa sangat cocok untuk
menjadi perantara dan coordinator. Namun pada suatu hari kelak mungkin
teologi-teologi Afrika atau Asia akan mengambil alih peran ini.
v Ketiga,
teologi Eropa memberikan perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang mengancam
teologi-teologi lainnya. Tugas menyesuaikan teologi dengan budaya menghadapkan
para teolog dari Dunia Ketiga kepada sejumlah bahaya. Daya pikir
budaya-Kristen, misalnya dapat mempengaruhi seorang teolog dan memikatnya untuk
memandang unsure-unsur Injil yang hakiki yang tak dapat ditawar-tawar, sebagai
sesuatu yang hanya berbau Eropa dank arena itu dapat dibuang. Para teolog Eropa
telah bergumul dengan masalah-masalah yang serupa, sehingga teologi Eropa dapat
memberikan pertolongan praktis untuk mencegah pola-pola sinkretis yang akan
merusak seluruh gereja.
v Keempat,
teologi Eropa sendiri terpanggil untuk tetap belajar. Melalui keterlibatan
dalam dialog terbuka dengan teologi-teologi lainnya, teologi Eropa itu sendiri
akan diperkaya dan ditantang untuk mempertimbangkan ulang sejumlah masalah yang
dianggap telah dipecahkan. Pemeriksaan diri yang diserukan oleh Rahner ini
dapat terlihat dalam karya sejumlah teolog Eropa, khususnya dari Jerman. Kasemann (1972), misalnya, menuduh
bahwa teologi Eropa modern menekankan pertobatan namun melupakan
implikasi-implikasinya untuk hidup sehari-hari, dan dengan demikian menyesatkan
orang banyak dan juga para siswa teologi. Meskipun gereja-gereja hadir
ditengah-tengah masyarakat “Kristen” di Eropa, demikian pendapat Kasemann,
mereka telah menjadi korban dari matriks budayanya sendiri namun perlu
menemukan kembali kemerdekaan dengan cara revolusioner.
Seorang
ahli lain memelopori proses evaluasi diri ini adalan Johann Baptist Mets (1973; 1980a: hal.94-112; 1980b: hal.29-42).
Menurut ahli Katolik yang terkenal ini, gereja di Eropa sedang mengalami krisis
karena gagal dalam usaha mengaitkan tradisi dan imannya dengan lingkungan
sosialnya. Jawaban Mets terhadap tantangan ini adalah suatu “teologi politik”.
Dalam teologi tersebut dia berusaha mengadakan pengimbangan terhadap kecendrungan
dalam teologi kontemporer yang terlalu menekankan individu. Pada saat yang sama
dia berupaya secara positif untuk merumuskan berita eskatologis dalam
kondisi-kondisi masyarakat modern.
Jurgen
Moltmann, teolog yang karyanya telah kami pilih untuk ditinjau dalam pasal
ini, mencontohkan sikap, kecakapan dan orientasi yang diacu oleh Rahner. Karyanya
A Theology of Hope mencerminkan jenis penelaahan teologi yang teliti yang
biasanya dikaitkan dengan pengetahuan Eropa. Namun yang lebih penting adalah
kerelaan yang diakuinya untuk berpikir secara kristis terhadap tradisi dan
budayanya sendiri, sehingga ia tetap mau belajar. Karena alasan-alasan inilah
maka gagasan-gagasannya mempunyai dampak besar terhadap teologi pembebasan di
Dunia Ketiga.
Misi gereja, menurut Moltmann adalah
partisipasi dalam pengutusan Yesus yang membebaskan. Apabila kita – orang-orang
miskin, buta dan terbelenggu, mendengar Firman, maka kita mulai merayakan pesta
pembebasan. Dalam kasus-kasus lain, gereja belum cukup memenuhi tugasnya, hanya
dengan memahami misi sebagai pemberi bantuan keuangan dan bukan memberitakan
Firman yang membebaskan. Berita dari Dia yang akan datang itu bersifat
membebaskan, sejauh tidak mengancam manusia dengan hukuman kekal. Jadi
pengharapan vital yang muncul dari suatu pertentangan teologi intern, juga dari
tantangan terbuka terhadap lingkungan yang berdosa. Karena iman mengikat kita
kepada Kristus dan membuka masa depan di dalam Kristus, maka pengharapan harus menjadi
pendamping tetap bagi iman. Menurut Moltmann, inilah pengharapan yang bagi
orang percaya dan gereja merupakan dasar dari suatu teologi yang
dikontekstualisasikan. Inilah teologi yang mampu dan rela secara agresif
menantang lingkungan politiknya denga tujuan membarui masyarakat.
Moltmann menyarankan suatu teologi
politik, yang paling tepat dipahami sebagai bidang, lingkungan, konteks dan
panggung dimana teolog Kristen harus dilakukan pada zaman modern ini. Sambil
memandang kepada Salib sebagai pusat perjuangan Kristus dengan
kekuatan-kekuatan masyarakat pada masa-Nya, teologi politik mengarahkan salib
sebagai alat atau lambing kecaman terhadap apa yang disebut Moltmann sebagai
agama politik, yaitu integrasi simbolik dari suatu masyarakat dan agama, atau
agama masyarakat (civil religion). Agama politik ini membawa kepada sejumlah
berhala yang menindas dan menaklukkan orang di bawah tirani kesombongan dan
rasa takut. Agama politik adalah titik pusat bagi kecaman yang dikemukakan
teologi politik.
Kepercayaan Kristen akan Deus
crucifixus (Allah yang tersalib) membebaskan manusia dari penyembahan
berhala mereka. Karena gereja (komunitas orang percaya) tidak dapat menyamakan
dirinya dengan berhala-berhala (struktur-struktur kekuasaan), maka gereja harus
membentuk persekutuannya sendiri. Gereja yang telah dibebaskan tidak lagi
membutuhkan konfirmasi diri, tak usah membuktikan apapun tetapi dapat dan harus
membuka dirinya kepada orang-orang miskin dan tertindas. Gereja tidak dapat
lagi dapat tetap tinggal netral secara politik, ia harus mengambil sikap
berjuang menuju demokratisasi dan pembebasan kaum tertindas. Harapan tidak
hanya berarti masa depan yang terbuka melainkan juga masa depan bagi orang yang
tidak berpengharapan.
Tanggapan Moltmann terhadap
kehambaran kekristenan pasca perang di Eropa adalah upaya untuk
mengkontekstualisasikan eskatologi Kristen. Teologi pengharapan yang
dihasilkannya menekankan keterbukaan yang aktif pada masa kini terhadap masa
depan, yang implikasi-implikasinya membawa langsung pada teologi politiknya.
Teologi politik ini paling tepat disimpulkan dalam pengertian salib, yang
merupakan kritik politik dan juga pengharapan bagi suatu politik kebebasan.
Ingatan Moltmann akan Dia yang tersalib itulah yang memaksa dia merangkul
teologi politik. (1984:hlm.69).
Di Asia – Teologi Kerbau
(Kosuke Koyama)
Teologi Kerbau lahir dengan bertitik
tolak pada realitas pastoral yang ada dalam lingkup masyarakat Muangthai. Dalam
pengamatan dan refleksinya, Kosuke
Koyama menemukan dua masalah teologis yang menjadi locus theologicus untuk
penginjilan di Muangthai, antara lain konfrontasi antara Muangthai satu dan
Muangthai dua dan “bermurah hati” dalam teologi tentang pribadi ideal, raja,
dan Yesus Kristus. Muangthai satu berarti Muangthai dengan nilai-nilai
tradisional yang dibentuk oleh berbagai pengaruh nilai-nilai agama Budha
Teravada yang berasal dari India dan Sri Lanka. Ini dicirikan oleh oleh
Antropologi dan sejarah yang apatis, suatu pandangan hidup yang dingin yang
muncul dari pengamatan yang jujur terhadap kehancuran manusia sebagaimana yang
menyebabkan Gautama menarik diri menuju kesunyian hidup.
Sedangkan Muangthai dua dihasilkan
oleh kolonialisme Barat dengan senjata dan menyebabkan luka, namun juga membawa
modernitas dan kekristenan. Antropologi barat akhirnya ditelusuri kepada
keprihatinan Allah pribadi dengan kasih dan keterlibatan-Nya membuat sejarah
Israel menjadi unik di antara sejarah para bangsa di dunia. Sifat antropologi
ini adalah sebagai hasil teologi kekristenan, modernisasi dan sekulerisasi.
Masalah teologi yang kedua bagi
Koyama ialah ajaran tentang “bermurah hati”. Ajaran “bermurah hati” merupakan
salah satu tradisi yang begitu kuat dan tetap di negeri agama Buddhisme
Teravada yang terus menerus dipupuk oleh dua tokoh besar yaitu Gautama
Siddharta, sang Buddha, dan Bhumibol Abulyadej, sri baginda raja. Sang Buddha
mengajarkan kepada rakyat Thai supaya harus “bermurah hati”. Ajaran ini sedikit
bercorak imperative karena dianggap sebagai suatu kekuatan religius yang
berasal dari manusia idaman, yakni raja, seorang penganut agama Buddha yang
bermurah hati. Dalam kemurahan hatinya, mengalirlah kemuliaan sang raja,
ajarannya member keselamatan dan kehadirannya merupakan suatu berkat.
Teologi Kerbau merupakan suatu
bentuk teologi kontekstual; teologi yang berakar pada kondisi riil umat Allah.
Karena itu unsur yang juga sangat penting dalam berteologi adalah melihat
konteks sejarahnya. Bagi Koyama, sejarah Asia adalah sejarah ‘senjata’ yang
meninggalkan luka, tetapi sekaligus sejarah ‘balsem’ yang menyembuhkan dan
menyelamatkan jiwa-jiwa orang Asia secara teologis. Dari mulut yang satu
keluarlah berkat dan kutuk. Sejarah senjata dan balsam dalam kenyataan konteks
Asia selalu berjalan bersamaan. Zaman kolonialisme ini adalah momen perubahan
total dan saat terjadinya berbagai goncangan di Asia. Kehidupan ekonomi,
politik dan kebudayaan menjadi berantakan.
Dalam perspektif Koyama, sejarah itu
masih berlangsung sampai sekarang. Sebab itu, bagi Koyama, kenyataan ini turut
mempengaruhi watak dan struktur relasi barat dan Asia. Barat selalu bersikap
keras dalam hubungannya dengan Asia, karena ketamakan perdagangan, dan mau
benar sendiri secara teologis. Sebagai seorang pewarta, seorang teolog mesti
berkemampuan mengidentifikasi diri sebagai aku yang “doktriner” dan aku yang
“misioner”. Aku yang “doktriner” cenderung mewartakan Injil menurut
konsep-konsep yang dogmatis dan bertolak dari refleksi Aristotelesian. Ia
mewartakan Injil menurut cara pandangnya sendiri. Dalam perspektif ini, seorang
pewarta akan melupakan yang lain. Berseberangan dengan itu, aku yang misioner
selalu terpanggil untuk hidup di tengah realitas saudara tetangganya, peduli
dengan situasi sesamanya, dan bertolak dari keadaan sesamanya itu.
Sarana untuk mendekati yang lain
dalam pewartaan itu ialah tetangga-logi. Menurut Koyama, saudara-saudara
tetangga di Asia bersedia mendengarkan berita tentang Kristus, kalau hal itu
disampaikan kepada mereka dalam bahasa “tetangga-logi”. Tetapi mereka akan
menolak Kristus kalau pewarta menyampaikannya menurut istilah-istilah
Kristologi kepada mereka.
Secara singkat, tujuan Teologi
Kerbau menurut Koyama adalah :
ü Pertama,
untuk menyampaikan Yesus Kristus dalam kata-kata yang secara cultural cocok,
tetapi juga mengkritisi dan memperbaiki kultur itu sendiri bila dirasa penting
dalam pembentukan ‘teologi in locu’.
ü Kedua,
untuk menjadi menjadi interpersonal dan bukannya interdoktrinal dalam proses
dialog dan saling memperkaya.
ü Ketiga,
untuk mengejar teologi ekumenis yang dilakukan demi kesehatan ekologis dan
keadilan.
Dalam
bukunya, Constructing Local Theologies,
Robert Schreiter menyebutkan lima kriteria untuk menentukan kesejatian
sebuah ungkapan teologi lokal tertentu, untuk memberikan penilaian terhadap
Teologi Kerbau dari Koyama sbb :
Pertama,
sebuah rumusan teologi harus memiliki konsistensi internal. Hal ini serupa
dengan criteria pertama de Mesa dan Wostyn, menyangkut arah dasar. Bagi orang
Kristen, dalil yang mendasar itu ialah “Allah adalah kasih”, dan segala sesuatu
yang tidak searah dengannya tidak mungkin menjadi ungkapan teologi Kristen yang
benar. Kriteria ini terjawab dalam Teologi Kerbau yang diangkat oleh Kayama
dalam ajarannya tentang “bermurah hati”. Namun ajaran ini sedikit bercorak
imperatif karena dianggap sebagai suatu kekuatan religius yang berasal dari
manusia idaman, yakni raja, seorang penganut agama Buddha yang bermurah hati.
Dalam kemurahan hatinya mengalirlah kemuliaan sang raja, ajarannya member
keselamatan dan kehadirannya merupakan suatu berkat. Keyakinan ini menimbulkan
aneka problem teologis bagi bagi Kristologi. Hubungan apakah yang ada antara
sikap bermurah hati yang ditunjukkan oleh sang Buddha dan sikap bermurah hati
yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus?
Kedua,
sebuah ungkapan yang benar tentang teologi kontekstual mesti bisa diterjemahkan
ke dalam ulah kebaktian. Apa yang terjadi ketika teologi di bawah masuk ke
dalam konteks peribadatan? Bagaimana teologi ini dapat berkembang dalam
komunitas gereja yang berdoa? Apa yang terjadi dengan sebuah jemaat yang
memasukkan teologi ke dalam doa mereka? Pertanyaan-pertanyaan Schreiter ini
turut menentukan kesejatian sebuah ungkapan teologi tertentu. Ajaran-ajaran
dalam Teologi Kerbau sangah muda diterjemahkan ke dalam ulah kebaktian.
Disamping ajarannya yang tidak bertentangan dengan gereja, Teologi Kerbau mudah
diterjemahkan dalam kehidupan konkrit karena sesuai dengan konteks umat
setempat. Dalam epilognya pada edisi 25 tahun Teologi Kerbau, Koyama dengan
lebih tegas menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Epilog tersebut diakhiri dengan
sebuah refleksi atas meluasnya kekerasan di hampir semua tempat di dunia yang
walaupun dilawan dalam setiap kehidupan religius, tetap menjadi misteri yang
hanya bisa diekspos melalui Ekaristi. Disini Koyama menyadari bahwa Ekaristi
adalah puncak dari iman Kristiani. Ajaran teologinya tetap memandang Ekaristi
sebagai praktek liturgy yang hakiki.
Ketiga,
tidak boleh bersifat eksklusif atau bertentangan dengan yang sebelumnya.
Teologi Kerbau merupakan sebentuk teologi yang sungguh-sungguh menghargai
konteks dimana Injil diwartakan. Ia menaruh perhatian besar pada kekayaan
realitas yang mengitari konteks pewartaan Injil. Konteks yang dimaksudkan
disini ialah situasi sosial, adat-istiadat, budaya, kepercayaan, konsep-konsep
atau cara pandang yang sedang dihidupi oleh sesame tentang realitas. Inilah
yang Kosuke Koyama sebut sebagai “tetangga-logi”. Ajaran dalam Teologi
Kerbau tidak bertentangan dengan yang sebelumnya. Secara sepintas terkesan ide
Koyama bertentangan dengan doktrin-doktrin yang dihasilkan sebelumnya. Namun
sebenarnya ia tidak menolak doktrin-doktrin itu. Koyama hanya mengkritisi cara
pewartaan Injil yang cenderung menggunakan konsep-konsep yang dogmatis dan
bertolak dari refleksi Aristoteles yang terkesan kaku dan sulit dipahami.
Ajaran Gereja tetap dijunjung tinggi, namun cara mewartakan Injil yang bersifat
dogmatis perlu diganti dengan cara baru sesuai dengan konteks riil, sehingga
dapat dipahami oleh umat.
Keempat,
sebuah teologi local atau perumusan teologis yang sedang berkembang harus
terbuka terhadap kritik dari Gereja-Gereja lain. Teologi Kerbau pada dasarnya
hendak memahami yang particular dari perspektif Kristiani. Suatu realitas local
baik budaya, sosial maupun ajaran religius disoroti dalam terang Alkitab dam
tradisi mendapat arti baru dalam konteks budaya tertentu. Jika demikian, maka
terjadilah suatu proses kontekstualisasi dengan menghargai yang particular.
Partikularitas merupakan bagian dari yang universal. Kesadaran ini berdasar
pada Gereja Yesus Kristus yang universal dan selalu berarti kudus dan Katolik.
Karena itu, tujuan kontekstualisasi yang searah
dengan Teologi Kerbau adalah dengan menciptakan sikap saling menghargai
kepribadian masing-masing, saling belajar dan tidak memaksakan unsur-unsur
budaya sendiri sebagai suatu Kebenaran Injil yang harus diterima oleh budaya
lain. Dalam hal ini Teologi Kerbau selalu bersifat terbuka dan memberikan ruang
kebebasan bagi setiap kritikan.
Kelima, teologi harus memberikan sumbangsih positif
menyangkut ikhwal dialog diantara rupa-rupa kontekstual, maka vitalitas semacam
itu menjadi tanda bahwa ia merupakan pengukuhan iman yang sejati. Teologi
Kerbau sesungguhnya adalah ungkapan lain dari teologi kontekstual. Sebab
teologi kontekstual selalu berarti dialog intens antara teks dan konteks. Teks
merujuk ke pengalaman masa lalu, sedangkan konteks meliputi pengalaman aktual
masa kini. Dalam Teologi Kerbau, Koyama mampu mewartakan Injil secara
kontekstual dan berdaya transformative bagi umat. Koyama mengajarkan kepada
para pewarta Injil agar mengalami secara langsung umat Allah sebagai subjek
pewartaan, karena pengalaman langsung itu jauh lebih kaya dan aktual dari yang
kita pelajari melalui doktrin-doktrin atau ajaran-ajarannya. Disini Teologi
Kerbau memberikan sumbangsih yang sangat berarti bagi perkembangan rupa-rupa
teologinya mulai dari hal-hal riil dan sederhana yang sesuai konteks umat
setempat agar bisa dipahami dengan baik.
Kesimpulan, Teologi Kerbau mampu menjawab semua criteria yang menentukan kesejatian sebuah ungkapan teologi lokal. Rumusan teologinya memiliki konsistensi internal, tidak bertentangan dengan yang sebelumnya dan bisa diterjemahkan ke dalam ulah kebaktian. Sebagai sebuah teologi lokal, Teologi Kerbau bersifat terbuka terhadap kritik dari Gereja-Gereja lain sembari memberikan sumbangsih positif menyangkut ikhwal dialog di antara rupa-rupa teologi kontekstual. Teologi Kerbau berusaha untuk berteologi dari bawah. Ia bertolak dari dari realitas konkrit menuju Firman Allah. Ia menuntut suatu cara berteologi yang sungguh-sungguh mengenal situasi riil umat agar bisa menghasilkan iman dan pertobatan dalam diri umat. Rumusan bahasa pewartaan juga mesti sederhana, tidak mengawang-awang tapi mendarat pada pengalaman nyata umat yang di injili.
Demikian
pemaparan Kristologi Postkolonialisme dengan mengambil contoh kontekstualisasi
di Eropa dan Asia (Muangthai).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar