TEOLOGI MASA
KINI
PERANAN GEREJA MENYIKAPI TEOLOGI MASA
KINI
Abstrak: Latar belakang masyarakat
Amerika Latin di masa lampau yang akrab dengan hegemoni kekuasaan kaum borjuis
menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu. Keprihatinan
ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan.
Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu
tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Akan
tetapi pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan sehingga
model teologi ini lebih mirip ideologi yang destruktif. Membawa konsep Teologi
Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi gereja
masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Tujuan tulisan ini adalah
menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya peran gereja
menyikapi Teologi.
Pembebasan
tersebut, dan menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan
sehari-hari. Metode yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif yang bersifat
eksplanatori tentang peran gereja
menyikapi Teologi Pembebasan. Kata Kunci: gereja; Gutiérrez; pembebasan;
praksis
1. Pendahuluan
Salah satu masalah krusial yang
dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah berkenaan dengan
stratifikasi dan diferensiasi sosial, kemiskinan, dan diskriminasi. Di saat
sebagian orang hidup dengan segala kemudahan, sebagian lainnya justru menderita
dan hidup serba kekurangan. Di saat yang lain dipermudah dalam berbagai layanan
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual publik, yang lain justru
dipersulit. Belum lagi kentalnya budaya patriarkal yang begitu diskriminatif.
Berdasarkan kenyataan bahwa gereja tumbuh dan berkembang dalam konteks sosial
masyarakat Indonesia yang demikian, gereja dituntut untuk tidak menutup mata
terhadap berbagai isu sosial masyarakat yang terjadi disekitarnya, sebab gereja
dipanggil untuk memberitakan kabar baik bagi mereka yang tertindas dan tertawan
serta membawa damai sejahtera Allah bagi dunia. Gagasan ini pada dasarnya merupakan
bagian dari konsep Teologi Pembebasan yang mula-mula lahir di Amerika Latin,
dan kemudian turut memengaruhi Asia termasuk Indonesia, sebagai bentuk keinsafan
gereja akan tanggung jawabnya terhadap isu sosial masyarakat di sekitar. Artikel
bertujuan untuk menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya
gereja – sebagai saksi Kristus yang hadir ditengah konteks sosial masyarakat Indonesia
yang timpang dan diskriminatif − menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan
bagaimana gereja menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah lahirnya Teologi Pembebasan
tidaklah lepas dari keadaan Amerika Latin di masa lampau. Orang-orang dari
Amerika Utara, yakni orang-orang suku Indian berpindah ke wilayah Amerika
Tengah dan Selatan, yang kemudian dikenal sebagai negeri-negeri Amerika Latin.
1 Suku Indian kemudian menjadi
penduduk asli disitu dan sangat mencintai alam dan tanahnya.
2 Keadaan yang damai dan tenteram itu
berubah setelah kedatangan bangsa Eropa khususnya Spanyol dan Portugis pada
tahun 1942 dan mulai menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam dan tanah
benua itu dan memperlakukan penduduk asli dengan sewenang-wenang.
3 Keadaan Amerika Latin yang kaya
dengan sumber daya alam ternyata tidak
menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Justru rakyat dikepung dengan kemelaratan dikarenakan kekayaan alam hanya
dikuasai oleh segelintir orang bermodal yang memperkaya diri dengan
menghalalkan segala cara, termasuk mengorbankan kaum lemah
4 Keadaan penduduk yang
memprihatinkan ini menimbulkan berbagai reaksi,
khususnya dari dalam gereja. Konsep
pemikiran Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis muncul dari
kalangan para teolog Katolik. Teolog-teolog pembebasan itu
antara lain Rigoberta Manchú Tum,
Frei Betto, Hugo Assmann dan Gustavo Gutiérrez.
2. Metode Penelitian
Penelitian
kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri yang mencari sumber terpercaya
yang diharapkan dapat melengkapi data yang telah ditemukan melalui Hendri
Mulyana Sendjaja, “‘Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang
Miskin, Tertawan dan Tertindas’: Menghayati Kembali Kehadiran Teologi
Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan
Asia” (makalah dipresentasikan pada Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di
Indonesia.
Pembahasan di dalam paper dengan
pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori, yang menjelaskan segala hal
berkaitan dengan teologi pembebasan dalam hubungannya dengan peran gereja melalui
pembahasan teoritik yang sumbernya adalah literatur berupa buku dan jurnal. Penekanan
pembahasan di arahkan pada usaha mencari penjelasan makna, dan fenomena
berkaitan dengan pokok pembahasan.
3. Pembahasan
Gustavo Gutiérrez dan Teologi
Pembebasan Diantara sekian banyak teolog-teolog pembebasan, Gutiérrez adalah
salah satu yang paling tersohor. Gutiérrez lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di
Monserat, sebuah kawasan
di Lima, Peru.8 Terlahir dalam
keluarga yang relatif miskin tampaknya telah membuat Gutiérrez memiliki rasa
empati yang besar terhadap kehidupan orang-orang lain disekitarnya yang
memiliki nasib yang sama atau bahkan lebih buruk darinya. Sebagai seorang
teolog, Gutiérrez melihat kehidupan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas sebagai
urgensi atau isu krusial dari sebuah teologi. “Teologi pembebasan dimulai sebagai
refleksi iman dalam tindakan bersama atas orang miskin dan yang terpinggirkan,
dan telah berkembang ke ranah praksiks, refleksi teologis, dan hermeneutika
pascakolonial.”
Gutiérrez berpandangan bahwa teologi
seharusnya adalah the second act yang
mengikuti praksis yang adalah the
first act. Yang dimaksud dengan praksis
adalah kontemplasi (doa) dan aksi (komitmen). Inilah yang mencirikan Teologi
Pembebasan, bahwa praksis selalu mendahului refleksi. Teologi Pembebasan pada
umumnya memfokuskan praksis pembebasan bagi kaum termargi-nalkan, yang miskin,
tertindas dan teraniaya, dengan tidak semata-mata menyuarakan keprihatinan dan
kepedulian dari belakang meja belajar, tetapi turut menceburkan diri dalam
kehidupan rakyat dan bersama-sama mengupayakan apa yang menjadi tuntutan dan
keinginan mereka.11
Berdasarkan pengamatan Gutiérrez
terhadap konteks sosio-kultural Amerika Latin, kemiskinan Amerika Latin adalah
kemiskinan struktural, artinya orang dibuat miskin.
Analisis Data Kualitatif Ilmu
Pendidikan Teologi
Poskolonial: Catatan Kritis Atas
Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci,: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen
Kontekstual Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin,
Tertawan dan Tertindas’: Menghayati
Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan
Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi
Pembebasan Asia”
Kemiskinan struktural merupakan
konsekuensi interaksi kelas bawah masyarakat dengan kelas atas yang kapitalis
dan berkarajter feodal. Perpaduan antara kapitalisme (eksternal) dan sikap
feodal para pemodal (internal) berperanan di dalam memunculkan kemiskinan.13
Ada suatu sistem yang secara struktural terbentuk di kalangan para pemilik
modal atau kaum kapitalis untuk memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan
kesejahteraan masyarakat miskin. Sistem ini membuat yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin dan tertindas. Kesenjangan dan ketidakadilan inilah
yang coba dibereskan oleh konsep
Teologi Pembebasan ala Gutiérrez. Ia ingin
mendamaikan materialisme dan
idealisme dunia (profan) dengan surga (transenden).”
Gutiérrez mengatakan bahwa ia membuat
tiga penemuan bahwa perlu memerangi kemiskinan, orang miskin adalah kelas yang
dapat diidentifikasi, dan bahwa “kemiskinan tidak disengaja…bukan hanya masalah
kebetulan, tetapi hasil dari struktur.
Fenomena kontemporer adalah
kemiskinan kolektif yang mengarahkan mereka
yang menderita untuk menjalin ikatan
solidaritas di antara mereka sendiri dan untuk perjuangan melawan kondisi di
mana mereka berada dan melawan mereka yang mendapat manfaat dari kondisi ini.
Dengan kata lain konsep Teologi Pembebasan berusaha untuk menciptakan
keharmonisan dalam hidup setiap umat manusia dimana sukacita surga yang mulia
dinyatakan di dalam dunia yang fana. Dalam pandangan Teologi Pembebasan,
gerejalah yang harus menjadi pemrakarsa dari tindakan ini sebagai saksi Kristus
dan warga kerajaan Allah, bukannya sekadar berdiam diri atau malah mendukung
hegemoni kekuasaan yang menindas kaum lemah. Satu penekanan penting dalam
konsep pembebasan Gutiérrez adalah bahwa “sesuatu yang transenden tidak mungkin
dibicarakan atau diwartakan tanpa adanya sebuah perubahan pada
tatanan masyarakat yang tidak adil.” Tiga
penemuan Gustavo Gutiérrez mengenai kemiskinan yaitu: kemiskinan adalah
destruktif, sesuatu yang saling berlawanan, dan menghancurkan bukan sesuatu yang
dapat diterima oleh tindakan kasih; kemiskinan bukan kebetulan tetapi berstruktur.
Maka diperlukan suatu perubahan baru; 3) kemiskinan adalah suatu kelas sosial
sehingga terjadi diskriminasi dan eksploitasi status. Oleh karena itu Gutiérrez
bertindak membantu yang miskin, dan
membawa pemikirannya masuk dalam Tindakan politik.Ivanovich Agusta, Diskursus,
Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Teologi Pembebasan memiliki empat metode.
Pertama, Teologi Pembebasan bertitik tolak dari situasi Amerika Latin. Teologi
haruslah secara intrinsik dihubungkan dengan situasi, budaya, dan sosial yang
khusus.19 Teologi Pembebasan bukanlah teologi yang bersifat universal tetapi
kontekstual. Konteks pembebasan yang diupayakan terhadap masyarakat
termarginalkan di Amerika Latin tentu tidak dapat diterapkan dalam konteks
masyarakat lain. Hal ini dikarenakan adanya kekhasan sosio-kultural dalam setiap
komunitas masyarakat. Untuk itu gereja harus selalu melihat isu krusial
dalam masyarakat, dan melihat konsep
pembebasan seperti apa yang perlu disuarakan dan diupayakan.
Kedua, teologi sebagai refleksi
kritis di dalam komunitas. Menurut Gutiérrez,
“teologi haruslah keluar dari
kehidupan iman yang berusaha menjadi otentik dan sempurna.”20 Keotentikan dan
kesempurnaan kekristenan yang sejati itu dapat dicapai apabila gereja memihak
kepada masyarakat miskin dan melibatkan diri dalam perjuangan untuk membebaskan
mereka.21 Gutiérrez memiliki pemikiran kedatangan Kerajaan dan pengharapan
parousia adalah selalu dan pasti bersifat historis, temporal, realitas duniawi,
sosial dan material.22 Dalam bukunya yang berjudul On the side of the poor: the
theology of liberation pemikiran Gutiérrez, dan Müller mengingatkan komunitas
gereja, mengapa teologi pembebasan merupakan hadiah penting bagi gereja global.
Esai Müller sangat berwawasan luas karena mereka mengklarifikasi aspek-aspek tertentu
dari teologi pembebasan (misalnya menjelaskan konteks, dan kontribusinya pada
teologi) sambil menawarkan alasan yang meyakinkan tentang mengapa teologi pembebasan
harus dipandang lebih dari sekadar teologi regional belaka. Namun Teologi Pembebasan
tidak boleh hanya memandang kemiskinan adalah tanggung jawab gereja saja
tetapijuga tanggung jawab secara universal. Kemiskinan akan selalu ada di
antara kita, namun yang terpenting bagaimana mengimplementasikan iman Kristen
sehingga kaum miskin menyadari ada pembebasan yang lebih baik daripada
kemiskinan itu sendiri yaitu pembebasan yang diberikan oleh Allah, dan bukan
pembebasan yang diusahakan oleh manusia atau pemahaman teologi semata.
Ketiga, menempatkan praksis sebagai
peran utama bagi pembebasan kaum
tertindas. Seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya bahwa praksis merupakan the first act dalam konsep
Teologi Pembebasan. Gutiérrez melihat bahwa belas kasihan adalah pusat dari
kekristenan, sehingga teologi Kristen haruslah menyangkut praksis yang secara
konkret menerapkan kasih itu dalam kehidupan, khususnya dalam kegiatan
Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap
Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” Veritas 1, no. 2
Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi
Pembebasan Gutiérrez pembebasan kaum miskin dan tertindas. “Teologi Pembebasan
dalam seluruh tujuan praksisnya menyamakan: mencintai sesama sama dengan
mencintai Tuhan.”
Teologi yang dicari oleh Gutierrez
adalah sesuatu yang terbuka bagi anugerah Kerajaan Allah dalam protes menentang
martabat manusia yang terinjak-injak, perjuangan melawan penjarahan sebagian
besar orang, kasih yang membebaskan, dan pembangunan yang baru, adil, dan
masyarakat persaudaraan.
Keempat, teologi adalah the second
act yang mengikuti praksis.27 Dalam Tindakan pertama, gereja memainkan perannya
sebagai saksi Kristus yang berdiri di pihak orangorang miskin, tertawan dan
tertindas. Sementara tindakan kedua adalah refleksi terhadap praksis yang
kemudian diajarkan sebagai sebuah teologi.
Dari penjelasan keempat metode
tersebut di atas maka metode keempat mengaitkan Teologi Pembebasan dan konsep
pemikiran Marxisme. Teologi Pembebasan pada hakikatnya tidaklah lepas dari
konsep pemikiran Marxisme. Marxisme adalah paham yang berlandaskan pada
pandangan-pandangan Karl Marx. Dalam pandangan Marxisme dikatakan bahwa agama
adalah candu masyarakat.28 Posisi kekristenan yang mapan dan berpengaruh kala
itu akhirnya memunculkan pendekatan materialistic dalam memahami agama. Hal ini
kemudian menjadikan agama berkembang menjadi alat justifikasi kelas.29 Para
penguasa yang dipandang sebagai wakil Tuhan ternyata justru
menciptakan sistem yang diskriminatif
dan egosentris. Freuerbach turut melihat bahwa terjadi penguasaan agama oleh
kaum hegemonik yang kemudian berimplikasi pada pembentukan strata kelas-kelas
dalam masyarakat, bahkan pola penindasan dan perilaku subordinatif lainnya oleh
kelas penguasa kepada publik.30 Agama menjadi candu bagi masyarakat yang
membuat ketagihan untuk menjaga survivalitas akan keistimewaan kelas yang
didapatkannya.Namun, keyakinan Kristen bukanlah agamaatau legalitas di
masyarakat, tetapi pribadi yang menyatakan kasih-Nya atas manusia, dan manusia
pun melakukan kasih-Nya kepada yang lainnya.
Teologi Pembebasan tidak dapat
dilepaskan dari empat pilar pemikiran Marxisme. Adapun empat pilar Marxisme
yang diadopsi oleh Teologi Pembebasan adalah: a) analisis perjuangan kelas;
b) mengutuk harta milik/kekayaan pribadi;
c) mendukung pemberontakan yang keras; d)
“manusia baru” menebus dirinya sendiri menjadi juruselamat bagi dirinya sendiri).32
Teologi Pembebasan pun turut menerapkan sepuluh dasar pemahaman Marxisme
terhadap iman Kristen, yang hasilnya adalah:
a) tidak mengakui adanya kejatuhan;
b) menyangkal bahwa kematian
merupakan akibat dari
kejatuhan;
c) menjadikan Allah sebagai Marxis
pertama; d) menjadikan Yesus sebagai
pencipta subversi;
e) tidak mengindahkan karya
penebusan;
f) mengubah arti pertobatan ( pertobatan
ada dalam bentuk pembebasan terhadap orang-orang miskin dan yang tertindas); g)
menyimpangkan makna kasih (disebut kasih jikalau terlibat dalam pemberontakan
dan perjuangan melawan penindas); h) memindahkan “perbuatan- perbuatan” Kristen
ke dalam praksis Marxisme; i) menundukkan gereja kepada mandat Marxis; j) tidak
memiliki doktrin eskatologis yang benar. Pernyataan di atas adalah pertimbangan
sebagai kritik yang mana Teologi Pembebasan mengabaikan rencana Allah bagi
umat-Nya sekiranya Dia mengizinkan kemiskinan itu ada sebagai konsekuensi
rencana-Nya dan kehendak-Nya di masa yang akan datang.
Gereja hadir untuk melakukan
kehendak-Nya, dan kehendak Allah bukanlah satusatunya untuk memihak kaum
miskin, dan terpinggirkan tetapi kehendak Allah yang membebaskan.
Dalam perjalanan sejarah Teologi
Pembebasan yang panjang membawa generasi baru para teolog Teologi Pembebasan
pada masa kini yang dituliskan secara jelas dalam buku The Future of Liberation
Theology: An Argument and Manifesto.
Ivan Petrella
menjelaskan bahwa teologi pembebasan saat ini mendapati dirinya tidak mampu bergerak
lebih dari sekadar berbicara tentang pembebasan untuk benar-benar diberlakukan
dalam masyarakat. Memberikan interpretasi baru yang berani tentang keadaan saat
ini, dan potensi masa depan dari teologi pembebasan. Selanjutnya Ivan Petrella
menyatukan penelitian orisinal tentang gerakan, dengan perkembangan dalam teori
politik, teori hukum kritis, dan politik ekonomi untuk merekonstruksi pemahaman
teologi pembebasan tentang teologi, demokrasi dan kapitalisme. Hasilnya adalah pemulihan
proyek-proyek sejarah, sehingga memungkinkan para teolog pembebasan untuk
sekali lagi menempatkan realitas pembebasan, dan bukan hanya janji, di garis depan
tugas mereka.Dengan demikian semakin nyata perjuangan para teolog Teologi Pembebasan
untuk mewujudkan Teologi Pembebasan dalam realitas kehidupan Kristen, dan bergereja.
Pemikiran
Gutiérrez yang melahirkan Teologi Pembebasan di masa lalu, dan perbedaannya di
masa kini menanggapi relevansi Teologi pembebasan pada masa kini yang man
konteks Teologi pembebasan pada masa itu tidak melihat tantangan di masa yang
akan datang. Gutiérrez menilai bahwa Teologi pembebasan saat ini telah memasuki
periode baru. Gutiérrez juga berpandangan bahwa Teologi tentu membawa tanda
waktu, dan konteks eklesial di mana teologi tersebut dilahirkan. Mereka hidup sejauh
kondisi yang melahirkan mereka tetap ada. Teologi-teologi yang pernah ada dapat
mengatasi berbagai tantangan, namun berjalannya waktu maka teologi tersebut pun
akhirnya tunduk dengan waktu yang ada. Kita merujuk, tentu saja, ke mode
tertentu dari suatu teologi (rangsangan langsung, instrumen analitis, gagasan
filosofis, dan lainlain), bukan fundamental afirmasi tentang kebenaran yang
diungkapkan.Ivan Petrella menyikapi pernyataan Gutiérrez dengan memberikan
penilaian atas dirinya. Bagi Gutiérrez, dalam kasus teologi pembebasan tertentu,
kebenaran esensial yang diungkapkan itu berkisar pada apa yang disebut opsi
preferensial bagi kaum miskin.
Pilihan untuk
orang miskin adalah evangelikal secara radikal, dan dengan demikian merupakan
kriteria penting untuk memisahkan gandum dari sekam dalam peristiwa mendesak,
dan arus pemikiran kita hari ini. Perhatikan bahwa Gutiérrez membedakan kebenaran
teologi yang diungkapkan dari sarana yang membawa kebenaran itu. Dengan demikian,
ada perbedaan yang harus ditarik antara konten yang diungkapkan teologi pembebasan,
dan alat sosioanalitik yang digunakan untuk menjelaskan konten itu.
Mendiskreditkan mediasi tertentu
tidak menyentuh opsi preferensial bagi orang miskin sebagai inti dari teologi
pembebasan. Dengan demikian perlu melihat konteks Teologi Pembebasan pada masa
lalu lalu, dan kepentingan Teologi pembebasan pada masa kini. Oleh karena itu,
penulis akan menjabarkan penjelasan peran gereja masa kini dalam menyikapi
Teologi Pembebasan dalam konteks kekinian.
Gereja dan Teologi Pembebasan
Batas-Batas Praksis Pembebasan
Teologi
Pembebasan merupakan konsep teologi yang berorientasi pada praksis yang mengupayakan
keadilan, dan kesejahteraan bagi semua. Dalam konsep ini, Yesus yang datang ke
dunia membawa kasih, dan keadilan-Nya bagi umat manusia. Berdasarkanpoin
tersebut teologi pembebasan hadir dalam solidaritas sosial sebagai refleksi kehadiran
Kristus. Tujuan praksis pembebasan adalah baik dan mulia. Namun melihat dasar
pemikiran Marxisme yang diterapkan terhadap iman Kristen dapat disadari pula bahwa
ada banyak hal yang janggal dan menyimpang dari konsep Teologi Pembebasan. Konsep
Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis dengan pengaruh pemikiran
Marxisme cenderung salah dalam menafsirkan firman Tuhan yang diangkat sebagai dasar
teologinya. Teologi Pembebasan tidak mengeluarkan kebenaran firman Tuhan untuk
kemudian diterapkan ke dalam kehidupan dunia yang bermasyarakat, tetapi justru
mengambil konteks yang terjadi di dalam masyarakat dan mencocokkannya atau
mengaitkannya dengan ayat-ayat Alkitab yang dianggap mendukung konteks. Jika
titik tolak teologi salah, maka penguraiannya pun adalah salah. Teologi Alkitabiah
haruslah bertolak dari Alkitab, bukannya memanipulasi ayat-ayat tertentu agar
selaras dengan tindakan.
Pandangan Teologi
Pembebasan yang mengizinkan penggunaan kekerasan akan berlawanan dengan
pengajaran Yesus yang cinta damai. Dengan demikian perspektif teologi
pembebasan mengizinkan gereja untuk mengupayakan segala cara, bahkan kekerasan
sekalipun untuk dapat menciptakan masyarakat yang tanpa kelas, dan stratifikasi.
Hal itu dapat menyebabkan kehidupan gereja tidak selaras lagi dengan firman
Tuhan karena telah menjadi serupa dengan dunia. Gereja tidak lagi menjadi terang
dan menerapkan kasih yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peran gereja dalam menerapkan
nilai-nilai Teologi Pembebasan dengan cara Allah bertindak, dan bukan dengan
sekehendak manusia. Sebab Allah menghendaki perdamaian.
Praksis
dilihat sebagai satu-satunya jawaban terhadap masalah-masalah sosial, bukannya
pribadi dan karya Allah Tritunggal di dalam Alkitab.39 Jika gereja menerima konsep
Teologi pembebasan tanpa evaluasi kritis terhadapnya, maka gereja akan mengalami
kekacauan teologi, dan penyimpangan doktrin dari apa yang dicatat dan diajarkan
oleh Alkitab. Penerapan Teologi Pembebasan didasarkan pada eksegesis firman
Tuhan, dan bukan pemahaman manusia yang dilegalkan dengan firman Tuhan.
Untuk itu
sebagai gereja haruslah melihat konsep Teologi Pembebasan secara kritis dan menentukan
batas-batas praksis yang benar dari model teologi ini. Peran gereja untuk menyikapi
pengaruh Teologi Pembebasan yang positif dan negatif. Pengaruh positif yaitu
dimana gereja tidak diam melihat realitas sosial yang tidak adil, dan sejahtera
yang terjadi di sekitar kehidupan bermasyarakat. Sementara pengaruh negatif
adalah Ketika gerakan Teologi Pembebasan ini memaksakan pahamnya untuk menolong
yang tertindas sekalipun bertentangan dengan pemerintahan, dan menciptakan
situasi masyarakat yang tidak damai. Bila Teologi Pembebasan berpandangan bahwa
realitas sosial yang penuh konflik tidak dapat membuat kita melupakan
persyaratan kasih universal yang tidak mengenal batasan kelas sosial, ras, atau
gender. Penegasan bahwa pribadi manusia adalah agen nasibnya sendiri dalam
sejarah harus dibuat sedemikian rupa sehingga inisiatif seenaknya dari Allah
dalam proses penyelamatan - yang merupakan akhir dari evolusi historis umat
manusia - dapat dengan jelas terlihat. Sesungguhnya, karunia Allah "yang mengasihi
kita lebih dahulu" (1 Yoh. 4:19) membingkai dan memunculkan kemanusiaan sebagai
respons bebas terhadap kasih itu.40 Dengan kutipan ayat 1 Yohanes 4:19 bahwa Allah
mengasihi kita lebih dahulu maka wajib untuk mengasihi saudara kita sesame manusia.
Namun kasih Allah adalah inisiatif Allah bukan perbuatan kasih menusia terhadap
sesamanya. Bila manusia mengupayakan kasihnya dengan kekuatannya maka kasih
Allah bisa menjadi sama dengan kasih manusia. Hal positifnya bahwa pandangan Teologi
Pembebasan memberikan kebebasan untuk menyatakan kasih kepada semua manusia
tanpa melihat perbedaan. Dalam gereja masa kini mungkin sulit menyatakan kasih
seperti itu bila tidak ada kasih Allah yang telah mengasihi gereja lebih
dahulu. Hal yang lain adalah mengapa kaum borjuis dan kaum miskin menunjukkan
gap yang luas dan memberikan perbedaan yang nyata dalam agama sebagai legalitas
dan gereja sebagai organisasi, maupun organisme. Inilah yang membuat
keterkaitan kuat paham Marxisme dan Teologi Pembebasan.
Marxisme dan
Teologi Pembebasan pada dasarnya sama-sama mengutuk agama yang melanggengkan
status quo dan yang membenarkan kekuasaan kaum borjuis yang diskriminatif.
Teologi Pembebasan juga menyuarakan kritik tegas terhadap kehidupan gereja di
masa lampau yang memihak kepada kaum borjuis atau kapitalis yang menindas kaum
miskin.Konteks gereja di Indonesia bisa diupayakan dalam konteks berkeadilan
sosial bagi seluruh warga gereja dan sesama manusia sebagai warga negara Indonesia.
Gereja tidak hanya menjadi organisasi, namun organisme yang menyuarakan pembebasan
Kristus atas dosa, kutuk, dan kasih kepada sesama yang didasarkan pada kasih
Allah yang hidup dalam orang percaya, dan gereja-Nya.
Kemunculan Teologi Pembebasan membawa
perubahan gereja yang diinsafkan
bahwa keadaan hidup bergereja bukan
semata-mata sebuah hierarki tetapi umat Allah. Gereja tidak diutus ke dalam
dunia untuk memusingkan soal-soal stratifikasi dalam gereja dan masyarakat atau
mempertahankan survivalitas akan keistimewaan kelas yang duniawi, tetapi
menjadi terang bagi dunia yang gelap. Hal penting lainnya adalah bahwa Teologi
Pembebasan memberitakan panggilan kepada gereja untuk menyatakan kasih kepada
sesama sebagai wujud dari teologi yang berdasarkan firman Tuhan.
Gereja
diingatkan untuk tidak sekadar berfokus kepada pembangunan gedung gereja atau
disibukkan dengan hal-hal internal gereja, tetapi melakukan hal yang lebih
utama yaitu menjadi saksi Kristus bagi masyarakat di sekitarnya.
Hal-hal ini merupakan sumbangsih
positif dari Teologi Pembebasan kepada kehidupan bergereja dan bermasyarakat.
Untuk itu gereja perlu untuk memahami bahwa Teologi
Pembebasan
haruslah digunakan atau diterapkan dengan kacamata Alkitab, bukan pemikiran
Marxisme. Artinya adalah bahwa batas-batas praksis Teologi Pembebasan ditentukan
oleh apa yang dilarang, dan diamanatkan Allah melalui firman-Nya. Segala konsep
yang bertentangan dengan firman Allah harus dibuang, sementara praksispraksis
atau pemikiran-pemikiran yang selaras denga n
firman Allah haruslah diterapkan dalam kehidupan bergereja, dan bermasyarakat
sebagai warga negara Indonesia.
Kristus Sebagai Teladan Gereja dan
Pembebasan-Nya
Teladan
sempurna bagi gereja dalam menapaki perjalanan hidup di dunia adalah Yesus Kristus.
Kristus sebagai teladan adalah bahwa gereja harus menjadi serupa dengan Kristus.
Keteladan Kristus mencakup segala hal yang baik dan seturut kehendak Allah, tidak
terkecuali dalam kaitan dengan konsep Teologi Pembebasan. Dalam inkarnasi-Nya sebagai
manusia, Yesus memilih untuk lahir dari keluarga sederhana, dari kaum yang terkecil
diantara kaum-kaum Yehuda. Bahkan kelahiran-Nya bukanlah di istana atau rumah
yang megah, tetapi justru di kandang domba. Meninjau pada perjalanan kehidupan
Yesus ketika hidup sebagai manusia di dunia, dapat pula dilihat bahwa Yesus
turut menerapkan praksis pembebasan. Dalam kehidupan pelayanan-Nya, Dia
senantiasa memperhatikan kehidupan orang-orang termarjinalkan, miskin dan
tertindas. Ia menyembuhkan orang sakit serta memberimakan orang yang kelaparan.
Yesus menyatakan keadilan dan kasih Allah bagi dunia secara konkret (Lih. Luk.
4:18-19). Yesus tidak semata-mata menjanjikan keselamatan surgawi tetapi juga
berkarya untuk membebaskan manusia dari belenggu penderitaan di dunia, yang
antara lain disebabkan oleh kemiskinan; dengan demikian Yesus menjadi pembebas
bagi kaum miskin yang tertindas.44 Namun yang harus diingat adalah bahwa pelayanan
kasih yang dilakukan Yesus tersebut tidaklah menggantikan pemasyhuranInjil.
Pelayanan kasih tersebut justru menyertai pemasyhuran Injil.
Dalam Matius
14:13-21 dapat dilihat bahwa Yesus tidak hanya peduli dengan kebutuhan rohani
orang banyak, tetapi juga kebutuhan jasmani mereka. Selain memberitakan firman
Yesus juga memberi mereka makan ketika mereka lapar. Lebih dari lima ribu orang
dikenyangkan oleh makanan rohani maupun makanan jasmani dari Yesus.
“Pemasyhuran Injil harus dilakukan dengan pelayanan firman dan pelayanan kasih,
dengan firman dan perbuatan.”45 Terkait hal tersebut kehadiran Yesus di dunia
ini menghadirkan keduanya sekaligus yaitu pemasyhuran Injil dan kasih-Nya.
Gereja hadir untuk menyatakan keselamatan roh oleh Injil, dan keselamatan
jasmani oleh perbuatan baik orang percaya melalui komunitas gereja.
Praksis
Teologi Pembebasan seharusnya menjadi bagian dari hidup bergereja. Praksis
pembebasan itu berorientasi pada keteladanan pembebasan yang dilakukan oleh
Yesus. Peran gereja berfokus pada pembebasan Yesus atas belenggu dosa, dan dampaknya
mengasihi Allah, dan mengasihi manusia. Gereja harus peka terhadap isuisu atau
gejala-gejala sosial di sekitarnya. Gereja harus menjadi garam dan terang bagi dunia.
Juga bahwa praksis-praksis pembebasan – berupa kontribusi gereja untuk “Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan
“Para Petani Miskin Yang Tersalib” menolong orang-orang miskin, tertawan dan
tertindas – tidaklah boleh mengabaikan pemashuran Injil. Gereja tidak boleh
melupakan tugas panggilannya untuk memberitakan berita Injil bagi dunia. Gereja
juga harus menginsafi bahwa segala kontribusinya dalam masyarakat bukanlah
supaya mendapat pengakuan dari dunia, melainkan semata-mata supaya Allah
dimuliakan, seperti halnya yang Yesus lakukan.
Chris Houson
mengungkapkan bahwa kehadiran Teologi Pembebasan untuk mengkritik keadaan
gereja dengan pertanyaan, dan menantang cara pandang gereja dalam menyikapi
relasi gereja dengan sekitarnya. Gereja hadir di muka bumi untuk menjadi saksi
Kristus. Gereja tidak hadir untuk memberi beban, namun berbelas kasihan akan
dunia melalui kasih Kristus. Hengki Wijaya dalam tulisannya Analisis Biblika
Terhadap Konsep Teologi Pembebasan di dalam Kekristenan menyimpulkan bahwa
“Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan
di dalam tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan
perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga
Kristus dipermuliakan (Mat. 5:13-16;Yak. 2:14- 26).”47
Selanjutnya sikap orang-orang Kristen
seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada orang-orang yang
tertindas dan dalam kesusahan, namun juga harus mengulurkan tangan kasih
sebagai perwujudan yang nyata dari firman yang diberitakan.
TEOLOGI ANAK MUDA MASA KINI
Pada saat
mengakhiri ulasannya setelah membahas pokok pandangan dan perdebatan di antara
aliran-aliran teologis Islam dalam bukunya (yang tidak terlalu tebal tapi sarat
lampiran dan catatan) yang berjudul Islamic Theology: Traditionalism and
Rationalism yang terbit pada 1998 (telah diindonesiakan oleh Penerbit Serambi
dengan judul Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Teologi Islam
(2002), Binyamin Abrahamov menarik kesimpulan bahwa tidak ada rasionalisme
murni dalam teologi Islam.
Yang di situ
dinisbat sebagai (paling) rasional(isme) dalam teologi Islam adalah pemikiran
kalam Mu’tazilah. Seperti dikatakan, pemikiran ini mengedepankan rasio dalam
menggayuh dan memahami makna ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan.
Konon tak jarang ditengara aliran ini “terlampau jauh” rasional sehingga seakan
keluar dari teks. Wallahu a’lam bishshawab. Yang perlu dicatat dalam hal ini
adalah seberapa jauh pun rasio didayagunakan dalam memahami teks atau naql
untuk menghasilkan apa yang Abrahamov menyebutnya tesis-tesis teologis, ia
tidak bisa melepaskan diri pada teks tersebut.
Topik-topik
teologi keislaman kontemporer kini sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa
yang coraknya tidak teologis murni lagi sebagaimana dalam perdebatan klasik.
Dengan perkembangan zaman dan keilmuannya, orang kontemporer barangkali juga
sudah tidak merasa perlu masuk ke dalam kotak klasik perdebatan itu. Tema-tema
telah mengalami pergeseran. Semangat-semangat yang berasal dari falsafah atau
nilai-nilai kemanusiaan pun turut mengambil tempat di situ.
Kedua, baik tradisionalisme maupun
rasionalisme sebagai disiplin doktrin teologis masuk ke dalam diri kita dalam
formulasi yang rasional, yang kemudian dilembagakan melalui literatur-literatur
keislaman yang dibaca dari generasi ke generasi. Pertanyaan menggelitiknya
adalah seberapa kadar pengaruhnya terhadap terhadirkannya “nuansa ketuhanan”
dalam diri atau perjalanan kehidupan (keberagamaan) seseorang? Seperti apakah
relasi antara formulasi teologis dari beberapa aliran itu dengan pemenuhan jiwa
batiniah seseorang dalam menapak perjalanan spiritual? (Duh pertanyaanmu, Bro!
To the point mawon).
1. Paradigma Pembaruan
1. Paradigma adalah “kerangka
berpikir”.
2. Kata ini terbentuk dari “Para”
(near, beside, above, among),
ditambah “deigma” (example). Kata kerjanya
(paradeigmatizo), dapat
diterjemahkan: I show alongside atau I am public example.
3. Dengan demikian, paradigma dapat
diartikan sebagai cara berpikir baru, yangmuncul di samping, di atas, atau dari
tengah model berpikir lama.
Paradigma pembaruan berarti bahwa
kerangka berpikir dibarui atau
dibarukan untuk pembaruan lanjutan.
Cara berpikir ini diharapkan dapat
membawa kemajuan dalam ibadah kepada
Allah, dan pelayanan komprehensif
kepada sesama.
2. Pengertian Alkitabiah
Kata paradeigmatizo dipakai dalam
Matius 1:19 (paradeigmatisai – to expose to a publik disgrace), dan Ibrani 6:6
(paradeigmatizontas – putting to open shame).
Paradigma dalam kedua ayat ini
negatif.
Dua teks yang dipakai sebagai dasar
studi selanjutnya, yaitu Matius 1:19-24
dan Roma 12:2. Pertama, menurut teks
Matius 1:19-24, Yusuf memiliki
paradigma negatif (ayat 19), Yusuf menerima
kebenaran dari Allah melalui
malaikat-Nya (ayat 20-23), dan
paradigma negatif Yusuf berubah menjadi positif, sesuai dengan kehendak Allah
(ayat 24). Kedua, menurut teks Roma 12:2,
Berdasarkan uraian ini, nyata bahwa
ada: (1) Sifat paradigma (negatifpositif), (2) Standar paradigma
(duniawi-surgawi), (3) Intervensi paradigma
(dari unsur luar), (4) Transformasi
paradigma (terjadi dalam nouns yang
mencakup pikiran, perasaan dan
kehendak), dan (5) Pembaruan paradigma
(untuk mengetahui kehendak Allah).
Pengertian Praktis
Paradigma pembaruan yang diharapkan
adalah yang bermakna teologis
dan etis. Artinya, setiap pembaruan
didasarkan pada kebenaran Allah dan
ditata untuk meningkatkan kebaikan
diri sendiri dan sesama.
C. Perspektif Teologi Agama dan
Masyarakat
1. Pengertian Teologi Agama
a. Teologi
Teologi adalah ilmu pemgetahuan Allah
(tentang Allah) dalam
hubungan dengan semua ciptaan-Nya.
Jikalau dihubungkan dengan agama,
Teologi Agama memberikan makna antara
lain agama dalam perspektif
teologis.
b. Agama
Agama, secara etimologis, terbentuk
dari “A-gam-a” (A = tidak; gam =
pergi; a = sifatnya), sehingga
“Agama” berarti abadi (eternal); Agama adalah
suatu yang abadi (eternally).
6 Menurut tulisan Julien Ries, kata
agama
(religion) berhubungan dengan kata
“relegere ‘to assemble’”, sehingga artinya
menjadi “the essembling and
transmiting of the ancestral worship of the
gods.” Kemudian, kata “religio, yang
diambil dari religare, ‘to bind together’”
oleh orang Kristen abad ketiga
masehi, menjadi “a set of doctrines and
practices that forms man’s
relationship with the divinity.”7 Secara sistem,
agama adalah sistem kepercayaan,
sikap, dan praktek agamawi yang
dilakukan oleh manusia kepada Allah
(Ertel: 769). Sistem ini dapat dilihat
dari perspektif Samawi dan Wadi’i,
sehingga ada istilah agama Samawi dan
Wadi’i.
Teologi Agama adalah ilmu pengetahuan
Allah dalam hubungan-Nya
dengan sistem kepercayaan, sikap dan
perbuatan manusia. Dengan kata
lain, Teologi Agama adalah agama
dalam perspektif teologis. Pertanyaan
penting adalah: “Apa fungsi agama
bagi masyarakat?”
2. Pengertian Masyarakat
Masyarakat secara sederhana berarti
kelompok orang yang berada dalam
lingkup tertentu. Lingkup ini dikenal
dengan istilah antara lain, kebudayaan
(Masyarakat Batak, dll), tempat
(Masyarakat Kota, dst.), dan sistem sosio-religius
(Masyarakat Madani, dls.). Dengan
demikian, kelompok-kelompok muncul
secara natural sesuai konteks
masing-masing sehingga paling kurang ada “ingroup” yang dapat menyebabkan (membawa)
ketegangan atau ketentraman,
tantangan atau harapan
TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM
PERSPEKTIF
TEOLOGI AGAMA DAN MASYARAKAT
INDONESIA
A. Tantangan dan Harapan dalam
Perspektif Teologi Agama
1. Kebangkitan Agama-agama
Orang-orang yang beragama “bangkit”
sejalan dengan ajaran agamawi dan
pengarah globalisasi. Contoh-contoh
ajaran ini adalah “Kharma Phala”,
“Sunyata”, “Ihsan”, dan “Kasih”.
Aktualisasinya terwujud dalam perkataan dan
perbuatan inter dan antar umat
beragama di Indonesia. Tentu buah kehidupan
agamawi menentukan tingkat
penghayatan setiap individu orang yang
beragama tersebut.
Kebangkitan agama-agama membawa
paling kurang dua akibat logis,
yaitu “kedewasaan” dan “kesaksian”
umat beragama. Pertama, banyak (kalau
tidak semua) orang yang beragama
mengharapkan bahwa orang-orang yang
beragama benar-benar menjadi “orang
baik”. Misalnya, orang menjadi “rahmat”
bagi semesta alam dan orang menjadi
“berkat” bagi sesama. Kedua, aktualisasi
identitas terjadi melalui nyanyian,
sandiwara, khotbah, pengajaran, gaya hidup,
dls. Seharusnya, “kesaksian” agamawi
dibuat tanpa paksaan sehingga istilah
“Kristenisasi” dan “islamisasi” tidak
menjadi “ancaman identitas agama”.
2. Hubungan Agama-agama
Manusia sudah hidup dalam sosial yang
baik dan jahat sejak
penciptaannya (Kej. 1:3; 2:9; 3:15;
4:1-16). Manusia yang beragama dapat berbuat
baik (seperti menghindari
percabulan), dan berbuat jahat (seperti membunuh
orang lain atau ibu kandungnya).
Harapan agamawi adalah antara lain: (1)
Jangan membunuh, jangan berzinah,
jangan mencuri (Kel. 20:13-15), (2) “Amar
Ma’ruf dan Nahi Munkar” (Q. Ali Imran
[3]:104), dan (3) “Kasihilah seorang
akan yang lain” (Yoh. 15:17b).
Orang-orang yang beragama dapat hidup
rukun dalam perspektif ciptaan
Allah. Namun, jikalau “in-group” dan
“out-group” agamawi berbenturan,
kiranya setiap umat agamawi membawa
diri dengan tanggung jawab penuh
tentang kebenaran “ekslusif” dan
“sosial”. Ada “kepercayaan (aqidah)” dan ada
“kehidupan bermasyarakat
(…mu’amalah)”.
Ada “kebenaran hakiki” (Yesus Kristus
adalah satu-satunya Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan) dan ada “kebenaran sosial
B. Tantangan dan Harapan dalam
Perspektif Masyarakat Indonesia
1. Masyarakat Madani
Konsep “Masyarakat Madani” (Civil
Society) atau “Masyarakat Madinah”
sudah dikenal oleh banyak orang di
Indonesia, terutama yang beada di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Penilaian masyarakat berbeda menurut cara pandang masing-masing, sehingga
istilah ini menjadi tantangan atau harapan. Jikalau suatu masyarakat tertentu menguasai
daerah tertentu berdasarkan aqidah agamawi, maka kelompok lain akan terancam
dan dapat menimbulkan konflik horizontal terus-menerus. Sebaliknya, kesadaran
religius yang menghasilkan manusia beradab – membawa kontribusi maksimal bagi
semua manusia dalam kelompok agama apa pun. Inilah Harapan dalam istilah
“rahmatan li al’alamin” dan “pembawa
shalom.”
2. Masyarakat Pembaruan
Individu atau kelompok masyarakat
Indonesia sedang dilanda oleh sistem
globalisasi. Pengaruh negatif dan
positifnya terasa sekali. Hubungan “dalam -
luar” yang semakin luas dan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
ekonomi menurut sikap kristis dan
kerja inovatif masyarakat kita. Masyarakat berharap bahwa gereja membawa
kemajuan, komprehensif yaitu pembaruan spiritual, sosial, dan psikologis. Sebab
itu, para pemimpin umat Allah meningkatkan peran agama sesuai dengan teori
solidaritas dan makna sosialnya sesuai dengan fungsi: edukatif, transformatif,
persaudaran, dan pengawasannya (Djamari: 92-106 dan Hendropuspito: 38-57).
Beberapa contoh:
(1) Pemimpin masyarakat tidak
melakukan KKN, tetapi menyatakan persepsi
untuk kepentingan bersama; (2) Gereja
menunjukkan kasih dalam perbuatan; (3) Pemimpin gereja mengajarkan kebenaran
konprehensif secara objektif; (4) Gereja hidup dalam transformasi yang
bersinambung; (5) Gereja mengaktualisasikan persaudaran berdasarkan prinsip
humaniora dan kasih Kristus; Pemimpin gereja turut mengawasi pemerintah sesuai
dengan fuingsi kenabiannya.
Masih ada harapan bagi gereja Tuhan
di Indonesia. Orang-orang yang
beragama, “semakin rasional dan
dekat” dengan umat pilihan TUHAN Allah.
Tantangan bukan alat picu konflik
batin dan soaial, melainkan alat pacu
pembaruan spiritual, soaial dan
psikologis. TUHAN Allah dapat mentransformasikan hidup orang-orang berdosa
sekalipun mereka berada dalam benteng yang berlapis-lapis. Paradigma yang
terbuka kepada Allah adalah sarana kongnitif untuk menikmati campurtangan
Pencipta kita dalam segala bidang kehidupan. Ingatlah bahwa tidak ada yang
mustahil bagi TUHAN kita.
PELUANG PELAYANAN BAGI GEREJA TUHAN DI
INDONESIA
Uraian ini didasarkan pada Surat Roma
12:13. Dua prinsip dasar pelayanan
gereja adalah Ibadah Sejati dan
Pembaruan Budi (Rm. 12:1-2). Tiga pokok bahasan dikaitkan dengan peluang
pelayanan gereja Tuhan di Indonesia masa kini, yaitu panggilan Allah, kasih
Kristus, dan perbuatan baik.
A. Pelayanan Berdasarkan Panggilan
Allah (Rm. 12:3-8)
1. Pengertian Pelayanan Berdasdarkan
Kasih Karuia Setiap orang merasa, berpikir, dan berbuat sesuatu sesuai dengan
karunia Allah, sekaligus menguasai diri sesuai dengan kadar imannya dan konteks
masyarakat. Ia adalah individu dalam komunitas dinamis. Ia memiliki karunia untuk
kepentingan bersama.
2. Contoh-contoh Pelayanan
Berdasarkan Kasih Karunia
Pemikir berpikir
objektif-kontekstual. Pelaksana berpikir dan bertindak korelasional. Jikalau
dua contoh ini dibuat sinergis, maka pemimpin didukung oleh pengikutnya dengan
usaha kreatif dan inovatif. Sebaliknya, pemimpin
“kesepian” dan masyarakatnya
“kebingungan”.
B. Pelayanan Bermotifkan Kasih
Kristus (Rm. 12:9-21; 13:8-14)
1. Konsepnya adalah Mengasihi Sesama
sebagai Kegenapan Hukum Taurat Tertulis: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura!
Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik” (Rm. 2:9); “Janganlah berhutang
apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab
barangsiapa mengasihi sesamanya, ia sudah memenuhi Hukum Taurat” (Rm. 13:8); “…Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Rm. 13:9).
2. Penerapan Kasih kepada Sesama
Orang yang menerapkan kasih Kristus
kepada sesama, ditandai oleh beberapa sikap dan perbuatan berikut. Pertama, ia
menghormati orang lain lebih dulu (Rm. 12:10). Kedua, ia membantu orang lain
dengan apa yang ada padanya (Rm. 12:13). Ketiga, ia tidak membalas kejahatan
dengan kejahatan, tetapi mengusahakan perdamaian (Rm. 12:17-21). Keempat, ia
tidak berbuat jahat, tetapi hidup dengan sopan (Rm. 13:9-13). Kelima, ia tidak
merawat tubuhnya untuk memuaskan keinginannya, tetapi melakukan ibadah yang sejati
untuk memuaskan hati Yesus Kristus (Rm. 13:14).
C. Pelayanan Berorientasikan
Perbuatan Baik (Rm. 13:1-7)
1. Konsepnya adalah Berbuat Baik
Warga Negara yang baik tidak berbuat
jahat, tetapi berbuat baik (Rm. 13:1- Jikalau berbuat jahat, ia malu mengaku
dan berubah. Jikalau berbuat baik, ia bangga dan berdedikasi lebih lagi.
2. Penerapan Perbuatan Baik
Umat Allah memberikan kontribusi bagi
pembangunan bangsa. Kita memberikan apa yang menjadi kewajiban bersama, seperti
pajak. Kita menghormati “orang yang berhak menerima hormat” (Rm. 13:7).
Perkembangan Teologi Kristen di
dekade Pertama Abad 21
Makalah ini
terbagi empat bagian. Bagian pertama berisi pendahuluan dan bagian keempat
berisi uraian penutup dan kesimpulan. Di dalam makalah ini pada bagian ketiga,
akan dibahas beberapa kecenderungan dari berbagai perkembangan terbaru dalam
rancang bangun teologi yang mewarnai dekade pertama abad 21. Pembahasan
tersebut adalah usaha untuk mencoba membentuk gambaran terkini perkembangan
lingkup teologis berdasarkan tuntutan perubahan zaman dalam sejarah gereja.
Tentu akan terlihat perbedaan yang nyata dari masa sebelumnya. Itu sebabnya
pada bagian kedua makalah akan paparkan kembali secara singkat sejarah teologi
dan titik-titik penting yang memunculkannya ke permukaan. Setiap zaman yang
bergerak secara linier selalu menghasilkan satu corak tertentu sebagai ciri
dari zaman itu. Corak tersebut akan mewarnai pokok pikiran apa yang dihasilkan
di zaman itu. Sebagai contoh, ketika Zaman Renaissance berlangsung, orang
begitu mengagungkan karya seni sebagai sebuah prestasi dari pencapaian manusia.
Maka pada zaman itu, kehebatan manusia melalui karya seni menjadi warna dari
pola pikir manusia dalam menyusun rancang bangun teologisnya. Sebagai sebuah
ilmu yang memperbincangkan tentang Allah, teologi juga menjadi sebuah arus yang
mengalir kuat (dan tidak stagnan) di sepanjang garis waktu. Pergerakan zaman,
sekaligus memberikan gambaran dari perubahan, perkembangan dan perbedaan
teologis dari masa ke masa. Di dalam perubahan itulah gereja dituntut untuk
selalu mereposisi kembali dirinya.
PERKEMBANGAN TEOLOGI KRISTEN DI
DEKADE PERTAMA ABAD XXI
Dalam
bagian ini akan
dibahas kecenderungan yang
terjadi dalam perilaku manusia
di abad ke-21,
tinjauan singkat terhadap pragmatisme, rasionalisme dan
empirisme, reposisi gereja
di dalam perubahan
dan lingkup perkembangan teologis yang
menjelaskan seperti apa
rancang bangun sebuah teologi terbentuk oleh zaman. Kecenderungan Perilaku Manusia Abad ke 21
Abad 21
adalah salah satu
abad yang menantang
pemikiran manusia terutama dalam
memahami dan menjelaskan hal-hal yang
berhubungan dengan Allah.
Mengapa? Salah satu ciri dalam abad ini
adalah pencapaian yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sedemikian rupa sehingga orang menjadi lebih bergantung pada semua
pencapaian tersebut yang nyata-nyata menolong dan meningkatkan efektifitas
bahkan kualitas hidup.
Teknologi seolah-olah telah menjadi jawaban bagi semua kebutuhan
manusia modern. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi batasan antar manusia untuk
saling membangun hubungan. Informasi bergerak dengan cepat melalui sambungan internet.
Dunia yangs emual tersekat oleh politik, budaya dan batas
teritorial berubah menjadi global dan menyatu dalam gerak dinamis teknologi
yang semakin merasuk di dalam segala
aspek kehidupan manusia. Perkembangan tersebut
memperlihatkan tanggap positif
di satu sisi selama teknologi itu digunakan
untuk mempermudah kehidupan manusia.
Tetapi tanggap negatif akan muncul manakala semua kemajuan tersebut, ternyata
berbalik menjadikan manusia sebagai
objeknya, tersandera oleh hasil
pikirannya sendiri melalui sejumlah
produk teknologi dan
justru mereduksi makna
Allah yang transenden. Salah
satu contohnya adalah,
kecenderungan manusia untuk
semakin berpikir praktis (pragmatisme), berorientasi
pada pengetahuan atau
akalnya (rasionalisme) dan meringkas
berbagai kerumitan, proses tradisional
yang rumit dan bertele-tele, dalam
sebuah shortcut teknologi sehingga bukan saja tenaga dan waktu yang
di hemat, melainkan
efektifitas dan efisiensi,
termasuk didalamnya urusan modal
dan sumber daya
manusia. Orientasi manusia
berubah karena mengarah pada
hal-hal yang bisa
dibuktikan, melibatkan pengalaman
dan hasil pengamatan yang otentik
(empirisme). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dua aliran filsafat
yang pernah muncul
di abad pertengahan
(rasionalisme dan empirisme) dan
satu aliran filsafat
abad sembilan belas
(pragmatisme), seolah
kembali mendapat tempat
di dalam berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat. Inilah yang
kelak membentuk kecenderungan
baru teologi abad
ke-21 yang berusaha menyingkirkan
Tuhan dari panggung aktifitas
manusia dan membawa pengaruh signifikan bagi pembentukan
serta perkembangan teologi abad ke-21. Hal ini akan dibahas pada bagian
selanjutnya makalah ini. Tinjauan
Singkat Pragmatisme, Rasionalisme dan Empirisme
Pemikiran dan pola
hidup untuk semakin
pragmatis dengan sendirinya
menjadi bagian yang tidak terpisahkan di
abad ke 21. Masyarakat Amerika adalah contoh sangat konkret mengenai perilaku
pragmatis melalui American Ethos.1 Pengaruh dalam aliran ini dibentuk oleh
filsafat pragmatis yang salah satunya
digagas oleh John Dewey (1859-1952). Dalam perilaku keseharian, pragmatisme
menjadi nilai-nilai vital
kehidupan yang ikut mengatur
perilaku dan cara
pandang masyarakat, terutama
dalam berhubungan dengan orang
lain.2 Bagi masyarakat Amerika, sesuatu yang penting, sebagaimana
ditekankan oleh aliran
filsafat ini, adalah
konkrit, terukur dan jelas
penggunaanya.3 Dalam sudut
pandang filsafat
pragmatisme, kebenaran sebuah
teori dan pengetahuan
harus bisa dibuktikan melalui
pengalaman dan tindakan manusia.4 Melalui pengalaman tersebut, kebenaran dapat
diuji untuk diterima atau ditolak.5
Bukan hanya soal pragmatisme, abad ke 21 juga mengantar manusia
untuk menjadi semakin
rasional di dalam
memahami segala sesuatu. Rasionalisme adalah
sebuah pandangan filsafat
yang menekankan rasio manusia sebagai penentu kebenaran.
Dalam pandangan ini, segala sesuatu dihakimi berdasarkan akal dan
pikiran. Jika sesuatu mendapat penjelasan secara rasional,
maka sesuatu itu
dapat diterima. Demikian
sebaliknya. Aliran ini pada awalnya dikembangkan oleh Descartes
(1596-1650) seorang filsuf Perancis sebagai responnya terhadap berbagai
pergumulan dunia.
Satu aliran
terakhir yang memberi ciri abad ke 21 adalah empirisme. Aliran ini menekankan
pengalaman sebagai titik
tolak kebenaran. Empirisme
adalah kebenaran yang diterima
melalui pengalaman, percobaan,
penemuan dan pengamatan yang
telah dilakukan. Menurut
Brown, berbeda dengan
orang rasionalis yang berusaha
menegakkan sistem filsafat
dengan memakai pikiran berdasarkan kebenaran-kebenaran yang menurut
dugaan orang terbukti dengan
sendirinya, penekanan empiris justru
pada pengalaman yang datang melalui indera manusia. Beberapa tokohnya antara
lain John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753) dan David Hume
(1711-1776). Menguatnya aliran
filsafat seperti dikemukakan
di atas hanyalah sebuah contoh
untuk mengantar memasuki
pokok utama makalah
ini, yakni perkembangan teologi
Kristen di dekade
awal abad 21.
Sesuatu yang menguat akan
mengarah pada sebuah
kecenderungan. Jika kecenderungan manusia abad
21 mengarah pada
kekuatan pikirannya, pengalamannya
dan hal-hal yang praktis
di dalam hidupnya,
maka paling tidak
hal itu akan mempengaruhi cara
pandang mereka dan
rancang bangun teologis
yang mereka buat. Reposisi
Gereja dan Abad 21 Zaman yang berubah
menuntut penyesuaian. Termasuk didalamnya gereja, perlu melakukan
tanggap terhadap perubahan
yang demikian cepat
yang berlangsung disekitarnya. Gereja sendiri adalah hasil dari
perubahan. Sebagai hasil dari perubahan, gereja memiliki sejarah dan terus
berkembang seiring perlananan waktu.
Menurut Th. Van
den End sejarah
gereja adalah kisah
tentang perkembangan-perkembangan dan perubahan yang dialami oleh gereja selama di dunia ini.
Yaitu kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk-bentuk yang dipakai
untuk mengabarkan Injil. End menganalogikan gereja sebagai sebuah pohon
yang awalnya merupakan sebuah tunas
kecil, kemudian tumbuh dengan
batang yang besar dengan dahan, cabang dan ranting yang banyak, tidak
sama ukurannya dan bentuknya. Begitu
pula halnya dengan
gereja-gereja yang lahir
dari jemaat pertama yang
berlainan: dalam hal
tata gereja, tata
kebaktian, dan ajaran
(red. teologinya). Tetapi semuanya itu berakar dalam tanah yang sama.”Sejak zaman pantekosta
berlangsung, gereja mengalami perubahan yang sangat pesat, baik dari segi jumlah
pengikutnya, tata caranya,
organisasinya dan juga
ajaran-ajarannya (dalam hal ini
katakan sebagai teologinya). Bahkan
hingga kini gereja tumbuh di dalam berbagai denominasi dan aliran yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Hal tersebut
membuktikan bahwa gereja
dalam sejarahnya, telah
mengalami perkembangan yang demikian
pesat sebagai tubuh
Kristus di dunia.
Dalam perkembangan itu sendiri, gereja bukan hanya bertahan membangun dirinya dari dalam, juga
mempertahankan dirinya dari berbagai musuh yang secara sistematis berniat menghancurkan
gereja terutama dalam
menghadapi ajaran-ajaran yang
8 Istilah ini berasal dari kata Yunani empeiria (=pengalaman) dan
empeirikos (=berpengalaman). Sejak abad kesembilan belas dan seterusnya, kata
itu telah dipergunakan untuk menunjukkan bermacam-macam filsafat yang
menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Gerakan ini dimulai di
Inggris hampir bersamaan dengan mulainya aliran rasionalisme di Eropa. Brown, Colin. Filsafat dan Iman Kristen, 10Th. Van den End, Harta Dalam Bejana:
Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Fakta
sejarah membuktikan, gereja mampu bertahan dari gejolak-gejolak yang
berlangsung secara internal.
Setiap masa yang berbeda
akan menghasilkan tantangan
dan persoalan yang berbeda pula.
Demikian juga di abad ke 21, yang dicirikan sebagai sebuah masa dimana orang
akan semakin pragmatis,
rasional dan empiris,
gereja akan menghadapi tantangan
tersendiri yang menuntut
respon gereja untuk mempersiapkan diri menghadapi semua
itu. Injil yang menjadi sentra pemberitaan gereja tentu akan banyak mengalami
gugatan dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan
pendekatan rasionalistik. Hal
ini juga sekaligus
merupakan tantangan bagi gereja
untuk semakin aktual dan
mewujudkan perannya secara
nyata, di tengah masyarakat modern yang
justru sedang bergerak ke arah sekular.
Penyesuaian apa yang dapat dilakukan oleh gereja? Paling tidak ada dua
hal. Pertama penyesuaian strategis, untuk merubah apa yang dipandang perlu
dalam hal ajaran, tata cara, organisasi dan strategi pemberitaan Injil; dan
kedua, penyesuaian yang bersifat konsolidatif,
sebuah usaha untuk
merapatkan barisan dan memperkokoh ajaran gereja (yakni Injil)
di tengah situasi dan alam pikiran manusia yang secara tegas menarik batas
antara hal-hal dunia (yang nyata, yang dimengerti dan real) dengan hal-hal
rohani (yang dianggap abstrak dan tidak nalar). Untuk hal yang kedua
ini, gereja perlu
membangun kembali satu
teologi yang benar-benar berdiri atas
kebenaran firman. Lingkup Perkembangan
Teologis Makalah ini terbagi empat
bagian. Bagian pertama berisi pendahuluan dan bagian keempat berisi uraian
penutup dan kesimpulan. Di dalam makalah ini pada bagian ketiga, akan dibahas
beberapa kecenderungan dari berbagai perkembangan terbaru dalam rancang bangun teologi yang
mewarnai dekade pertama abad 21. Pembahasan tersebut adalah
usaha untuk mencoba membentuk gambaran terkini perkembangan lingkup
teologis berdasarkan tuntutan
perubahan zaman dalam sejarah gereja. Tentu akan terlihat
perbedaan yang nyata dari masa sebelumnya. Itu sebabnya pada
bagian kedua makalah
akan paparkan kembali
secara singkat sejarah teologi
dan titik-titik penting yang memunculkannya ke permukaan. Setiap zaman yang bergerak secara
linier selalu menghasilkan satu corak tertentu sebagai ciri dari zaman itu.
Corak tersebut akan mewarnai pokok pikiran apa
yang dihasilkan di
zaman itu. Sebagai
contoh, ketika Zaman
Renaissance berlangsung, orang begitu mengagungkan karya seni sebagai
sebuah prestasi dari pencapaian manusia. Maka pada zaman itu, kehebatan manusia
melalui karya seni menjadi warna dari
pola pikir manusia
dalam menyusun rancang
bangun teologisnya. Sebagai sebuah ilmu
yang memperbincangkan tentang
Allah, teologi juga menjadi sebuah arus
yang mengalir kuat (dan tidak stagnan) di sepanjang garis waktu.Pergerakan zaman,
sekaligus memberikan gambaran
dari perubahan, perkembangan dan
perbedaan teologis dari masa
ke masa. Di dalam
perubahan itulah gereja dituntut untuk selalu mereposisi kembali
dirinya. Manusia selalu
berusaha memahami Allahnya
dan mempercakapkan tentang Dia.
Inilah yang menjadi salah
satu alasan klasik, mengapa teologi tidak pernah mati tetapi selalu berkembang. Warna dari rancang
bangun teologi amat ditentukan
oleh corak zaman yang melahirkannya, termasuk latar belakang para 11 Berasal dari bahasa Yunani theos yang
berarti Allah dan logos yang berarti pikiran, perkataan, percakapan atau
wacana. Pemikir yang menggagas ide-ide
tersebut dan situasi-situasi yang berlangsung pada waktu itu. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa perkembangan teologi paling tidak ditentukan
oleh
(a) corak zaman,
(b)
latar belakang para
pemikir.
(c) kebutuhan mendesak yang
melatarbelakangi lahirnya pemikiran teologis tersebut. Teologi
selalu berkembang bahkan
erat kaitannya dengan
sejarah gereja tempat dimana
teologi itu tumbuh dan berkembang. Demikian sebaliknya, selama gereja bergerak
di dalam jalur
sejarah, maka teologi
juga akan mengalami perkembangan. Selama
manusia hidup dan memikirkan
tentang Allah-nya, maka akan
selalu lahir pemikiran
dan perkembangan terbaru
teologi. Yang membuat perbedaan adalah
sumber-sumber yang digunakan
oleh para penggagas
teologi tidaklah sama. Ada yang menggunakan Alkitab sebagai satu-satunya
sumber ajaran tetapi lebih banyak
juga yang menggunakan
sumber-sumber lain. Di
dalam perjalanan sejarah perkembangan
teologi, kita mengenal
misalnya Agustinus, Aquinas dan
Hooker menggunakan Alkitab
dan tradisi, filsafat
serta ilmu pengetahuan sebagai
sumber dalam menciptakan
sintesa-sintesa mereka yang terpenting. Maka
ketika setiap zaman menghasilkan
aliran filsafat yang berbeda, kemajuan pengetahuan yang berbeda, sistem dan tantangan
yang berbeda, maka
dipastikan, sintesa yang
kemudian lahir sebagai
sebuah produk teologi,
juga mengalami perbedaan dari
masa sebelumnya, mengalami
perubahan dan berkembang sesuai
kebutuhan. Aguinas dan
beberapa tokoh sezamannya banyak sekali
dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles.
Hooker dipengaruhi oleh filsafat
dan ilmu pengetahuan tetang tradisi yang
berasal dari Aquinas
dan gagasan baru
dari zaman Renaisance. Schleiermacher sangat kuat
dipengaruhi oleh situasi pencerahan, filsafat Kant dan aliran baru dari
romantisisme dan
immanentisme. Itu beberapa
contoh dari sisi teolog. Dari
sisi bentuk teologi, kita mengenal lahirnya teologi reform sebagai reaksi
radikal atas berbagai kesalahan dan pelanggaran dalam lingkup gereja pada waktu
itu. Demikian halnya munculnya teologi politik, teologi kontemporer, dan
berbagai bentuk lain dari teologi, semua dipengaruhi oleh situasi dan kebutuhan
zaman pada waktu itu dan muncul sebagai jawaban terhadap tantangan iman yang
timbul atas situasi tertentu. Hasilnya, rancang bangun dan keanekaragaman
teologis. Menurut Avis,
keanekaragaman teologi tersebut adalah wajar dan
muncul sebagai akibat yang
tak terelakkan dari
dua sifat teologi
itu sendiri. Pertama,
hal tersebut merefleksikan sifat dinamis dan kreatif
teologi, yang didalamnya
individu menjawab dengan seluruh
keberadaannya, dengan segenap
hati dan pikiran, pengungkapan Allah dalam
alam yang kudus. Kedua,
keanekaragaman ungkapan teologi merefleksikan
keanekaragaman keadaan yang
didalamnya teologi
dijalankan.Meskipun demikian, arah dari semua pergerakan itu menuju ke satu
titik yakni tanggap iman manusia tentang Allah, terhadap Allah dan karya-Nya. TINJAUAN SINGKAT SEJARAH GEREJA DAN TEOLOGI YANG DIHASILKAN Percakapan sejarah
teologi tidak dapat
dilepas dari percakapan
tentang sejarah gereja karena hubungannya yang sangat erat. Di dalam bab ini akan dibahas secara singkat
perkembangan rancang bangunteologi di dalam sejarah gereja dari abad pertama
dan ajaran-ajaran teologi apa yang
muncul serta tanggap
(reaksi) gereja terhadap perkembangan tersebut. Untuk membantu memahami
uraian di dalam makalah ini,
pertama-tama akan diuraikan
dahulu defenisi teologi
dan sejarah teologi,
kemudian tujuan dan
maksud sejarah teologi dan
yang terakhir pembahasan singkat
tentang periodisasi sejarah teologi.
Definisi Teologi dan Sejarah
Teologi Para teolog memberikan beragam pendapat mereka tentang defenisi dari
teologi. Berikut ini beberapa rumusan yang diungkapkan oleh para teolog
tersebut tentang pemahaman mereka tentang apakah defenisi dari teologi itu. Eka
Darmaputra mengatakan, teologi adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis,
kreatif secara esensial
antara “teks” dan
“konteks,” antara “kerygma yang
universal dan kenyataan hidup yang kontekstual. Juga didefenisikan sebagai,
upaya untuk merumuskan penghayatan iman Kristen pada konteks, ruang, dan waktu yang tertentu.E. Farley
mengatakan teologi adalah
suatu istilah yang
menggambarkan lingkup
seluruh pokok studi,
penelitian (tentang PL,
PB, sejarah gereja,
teologi sistematika, ilmu berkhotbah,
pendidikan agama Kristen
dan konseling) dan aplikasi dalam pendidikan atas sekolah
teologi. (= arti luas). B.B. Warfield
(1851-1921) teolog ortodoks
dari Princeton Seminary mengatakan bahwa teologi adalah ilmu
yang membicarakan Allah dan hubungan antara Allah dan alam semesta.W.G.T.
Shedd (Guru besar Teologi Sistematis di Union Theological Seminary tahun 1874-1890)
mengatakan, teologi adalah
suatu ilmu yang
berhubungan dengan Yang Tak Terbatas dan yang terbatas, dengan Allah dan
alam semesta.” A.H. Strong (teolog
Baptis) mengatakan bahwa teologi adalah ilmu tentang Allah dan
hubungan-hubungan antara Allah dan alam semesta. F. Schleiermacher (pionir
teologi Liberal, 1768-1834) mengatakan bahwa teologi adalah usaha menganalisis
pengalaman kesadaran religius, yaitu perasaan ketergantungan kepada yang
mutlak. Paul Tillich (1886-1965) mengatakan
bahwa teologi adalah interpretasi metodologikal dari materi pokok
iman Kristen.Louis Berkhoft mengatakan bahwa teologi adalah pengetahuan
sistematis tentang Allah, yang dari-Nya, oleh-Nya,
melalui-Nya dan bagi-Nya
segala sesuatu berada.
Harun Hadiwijono,
salah seorang teolog
Indonesia mengatakan, teologi adalah usaha
manusia dengan pikirannya
untuk meneliti Alkitab
dengan menggunakan alat-alat ilmu
pengetahuan, agar dapat
mengetahui kebenaran-kebenaran
ilahi.Paul Avis mengatakan bahwa teologi adalah berpikir dan berbicara tentang
Allah.Daniel Lukas Lukito:
pengetahuan yang sistematis
tentang Allah dan hubungannya dengan ciptaan-Nya seperti
dipaparkan dalam Alkitab.Berdasarkan sejumlah definisi di atas, maka dapatlah
dirumuskan bahwa teologi memiliki lingkup
utama tentang Allah. Segala
sesuatu yang membicarakan tentang Allah
dengan berbagai pendekatannya,
disebut sebagai teologi. Hasil dari perbincangan ini terangkum dalam
sebuah rancang bangun teologi. Sedangkan
sejarah teologi merupakan
pengungkapan tentang teologi Kristen sepanjang berabad-abad
yang meliputi perkembangan,
pertumbuhan, dan perubahan teologi
Kristen, yang mempelajari
formasi (susunan) doktrin-doktrin
utama tentang Allah, Kristus, Roh Kudus,
Keselamatan, Gereja, dan lainnya, untuk melihat bagaimana doktrin-doktrin telah diformulasikan dan berkembang.Enns menekankan bahwa
arah dari gereja
telah dipengaruhi oleh
arah dari teologi. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
mengikuti perkembangan teologi dari masa ke
masa akan dengan sendirinya menjelaskan
arah perkembangan gereja.
Maka dengan melihat posisi teologi di awal abad 21, posisi dan perkembangan
gereja juga dapat dengan sendirinya dipetakan (maping). Tujuan Sejarah Teologi Menurut Enns,
sejarah teologi bertujuan
untuk “menjabarkan asal
usul sejarah dogma dari
gereja dan menelusuri
rentetan perubahan dan perkembangannya.” Dengan kata lain
sejarah teologi adalah sebuah usaha yang
menjelaskan gerakan teologi yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Karena
itu sejarah teologi
mempunyai beberapa usaha.
Pertama, berusaha untuk memahami formasi
doktrin-doktrin,
perkembangan, dan perubahannya,
apakah menjadi lebih baik ataukah lebih buruk. Yang sudah terjadi
adalah:
1. Skolastikisme yang
menekankan penalaran mempengaruhi
teologi untuk menjauhi kedaulatan
Allah;
2. Reformasi mengembalikan
kepada sentralitas Alkitab
(Sola Scriptura), juga mengembalikan teologi
untuk menekankan anugerah
(Sola Gracia), juga mengembalikan teologi untuk menekankan
iman (sola fide);
3. Pencerahan mengarahkan
teologi ke arah
kecenderungan kepada anti supranatural. Sebagai dampaknya: a. muncul sikap menolak
Alkitab sebagai firman Allah yang diilhami oleh Allah.
Muncul
sikap menolak Alkitab sebagai yang berotoritas atas hidup manusia dan menggantikan
akal manusia sebagai
penentu segala-galanya (yang berotoritas). Kedua, selain
berusaha untuk memahami
formasi (susunan) doktrin-doktrin, perkembangan,
dan perubahannya, sejarah
teologi juga menjelaskan gerakan teologi
selama berabad-abad. Hasilnya
bermafaat bagi kita
untuk mengetahui asal mula
doktrin, serta bagaimana
berkembang, dan bagaimana doktrin itu
kadang-kadang menyimpang dari
kebenaran yang Alkitabiah
dan muncullah bidat.26 Sebetulnya, maksud Enns dengan
sejarah teologi adalah usaha yang
memudahkan kita memahami perkembangan teologi yang berlangsung dari setiap zaman.
Melaluinya kita dapat mengetahui pencapaian teologi apa saja yang telah
terjadi, bagaimana bentuknya dan apakah dampak dari pencapaian tersebut.
Beberapa pertanyaan pentingnya
adalah, ajaran apa
saja yang muncul,
apakah doktrinnya
bertentangan atau mendapat
legitimasi Alkitab? Serta,
bagaimana respon gereja menghadapinya. Banyak teolog yang
membagi sejarah teologi. Tetapi dalam
makalah ini hanya digunakan
satu saja, seperti
yang dikelompokkan oleh
Paul Enns. Pengelompokkan lain dibuat oleh Tony Lane tidak beda terlalu
jauh dan lebih terinci karena Lane masih
menambahkan beberapa rincian
waktu yang secara
spesifik membagi masing-masing periode
tersebut adalah teologi yang
dikembangkan melalui para Bapa
Apostolik. Inilah masa
dimana rancang bagun
teologi Alkitabiah tersusun secara sistematis. Teologi ini sangat signifikan dan biblikal karena dikembangkan oleh orang-orang
yang masih hidup
dan dekat dengan peristiwa-peristiwa kehidupan Kristus dan
rasul-rasul. Sumbangan yang mereka sampaikan adalah isu penting tentang trinitas, keilahian
dan kekekalan Kristus
dan keselamatan. Pada masa ini
sudah muncul beberapa pengajaran yang menyimpang dari iman Kristen seperti
sekte-sekte Yahudi yang mencoba
mempertahankan hukum Musa, ajaran-ajaran
Gnostik yang bertentangan dengan Injil, Marcions yang membentuk kanon sendiri dan
gerakan Montanis. Dalam
Tulisan karangan Bapa-bapa
Rasuli yang dikenal dengan tulisan teologis pastoral seperti Didache dan
Surat-surat Clemens beredar dalam
periode ini. Karangan-karangan tersebut
membahas soal yang
Berkenaan dengan penggolongan di atas, Tony Lane membuat periodisasi perkembangan teologi dengan sedikit
perbedaan:
I. Gereja Bapa-Bapa Gereja sampai
Tahun 500 M;
II. Tradisi Timur Sejak Tahun 500 M;
III. Gereja Barat pada Abad
Pertengahan tahun 500 – 1500 M;
IV. Reformasi dan Reaksi, 1500 –
1800; dari jaman ini dimunculkan penjelasan tentang kelompok Lutheran,
Calvinis, Anabaptis, dan reaksi Gereja Katolik Roma;
V. Pemikiran Kristen di Dunia Modern setelah
Tahun 1800. Selama dua ratus tahun
bermunculan berbagai aliran:
1) Kaum Liberal,
2) Kelompok Evanglikal,
3) Neo-Ortodoksi,
4) Para Eksistensialis,
5) Teologi Kontemporer,
6) Teologi pihak Katolik Roma, dan
7) Iman Se-Dunia. Berdasarkan dua
pembagian itu dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, dua pembagian itu tidak
berbeda. Jika tampak berbeda, itu disebabkan Tony Lane merinci isi beberapa
periode ke dalam bagian-bagiannya. Dan rincian itu menjadikan pembagian zaman
itu lebih jelas. Pembagian ini dibahas lengkap dalam buku Tony Lane, Runtut
Pijar – Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005). 28 Ibid
dihadapi jemaat
Kristen pada waktu
itu, misalnya apa
makna PL bagi
gereja Kristen.29 Secara spesifik,
periode abad permulaan ini dibagi
lagi dalam 4 kelompok oleh Cairns.30
Pembagiannya adalah sebagai berikut :
(a) Abad Pertama – masa para
Bapa Apostolik yang menyusun ajaran-ajaran dasar kekristenan. Tokoh yang muncul
di wilayah Barat adalah Clement of
Rome sedangkan dari
wilayah Timur seperti
Polykarpus, Ignatius, Papias. (b)
Abad Kedua – masa para apologet
dimana kekristenan dan ajarannya
dikukuhkan, dipertahankan dan
dibela. Di wilayah
Barat muncul Tertullian sedangkan
dari wilayah Timur
muncul Aristides, Justin Martyr, Tatian, Theopilus. (c) Abad
Ketiga – masa para Bapa Gereja,
dimana terjadi polemik antar ajaran dan
serangan dari doktrin
palsu yang menyesatkan
terhadap doktrin dasar kekristenan. Pada era ini, pengajaran yang
berbasis tradisi mencoba menyusup masuk
ke dalam ajaran
asli. Tokoh Barat
yang muncul adalah Irenius, Tertulian dan Cyprian. Sedangkan tokoh Timur
yang muncul adalah Clement dan Origen.
Pada masa ini gereja terbagi dua secara kontras dan sistemaris yakni Wilayah Timur
di Alexandria dan Wilayah Barat
di Antiokhia. Di
kedua kota inilah
kemudian berkembang dua mahzab teologi yang
pengaruhnya dirasakan hingga
sekarang. (d) Abad Keempat
– masa keemasan
dimana Alkitab mengalami penyelidikan secara serius.
Dogmatika muncul di masa ini. Tokoh gereja Barat antara
lain Jerome, Ambrose
dan Augustine. Sedangkan
dari wilayah Timur muncul Athanasius dan Basil dari Caesarea. Kelompok
sejarah bagian kedua adalah abad pertengahan. Di dalam era abad ini, rancang
bangun teologi mengandung banyak sekali distorsi pengajaran Alkitab,
terutama pada paruh
pertama abad pertengahan
saat renaissance berkembang pesat. Pandangan
para tokoh renaissance
sangat berpengaruh dalam kehidupan berteologi, dimana pengaruh dari
kombinasi antara filsafat Plato dan
Humanisme telah melahirkan kebangkitan
kebebasan individu yang
menjadi pusat dari segalanya. Akibatnya terjadi pengagungan
‘human nature’, sehingga menghilangkan kepercayaan manusia
kepada standar kebenaran
absolut. Otoritas gereja
dalam pendidikan moral juga menjadi lemah. Bahkan teologi yang
berkembang pada masa itu tidak memiliki
pertanggung –jawaban biblika
yang kuat.31 Namun
demikian kondisi itu justru menjadi benih ‘Reformasi’ yang berbuah pada
abad ke-16-17.32 Perubahan secara signifikan dalam teologi baru terjadi
pada paruh terakhir abad pertengahan. Bibit reformasi mulai digulirkan di dalam gereja akibat sikap
gereja yang sudah sangat duniawi (disebut sebagai masa masa
kegelapan – berlangsung antara tahun
500 s/d 1500). Inilah yang kemudian mengawali gerakan reformasi
oleh Marthin Luther yang dilakukannya dengan berani.
Sarjana
membelas imannya dengan pandangan rasional, muncul di abad ini. Salah satu
skolastik yang terkenal adalah Thomas Aquinas. Kalau pada zaman sebelumnya
teologi belum mengalami perkembangan, justru
di abad pertengahan terjadi hal yang
sebaliknya. Mulai tahun
1100 s/d 1500,
perkembangan yang sangat
pesat terjadi dalam bidang teologi. Mengapa? Kalau dulu teologi hanya
dipelajari kalangan terbatas di dalam
gereja dan biara
(sehingga penafsirannya sepihak),
kini bisa dipelajari dan
dikembangkan oleh awam melalui
fakultas-fakultas teologia yang muncul di berbagai universitas
Eropa. Dalam periode ini juga terjadi perdebatan tentang filioque yang
kemudian memisahkan gereja
Barat dan Timur. Gereja
Barat mengakui bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan dari Anak (la
filioque) sedangkan Gereja Timur tidak mengakui itu. Perbedaan yang makin
kontras antara gereja Barat dan Timur sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Pada
tahun 1054 terjadi pemisahan. Gereja Barat berpusat di Roma sedangkan Gereja
Timur berpusat di Konstantinopel.Periode
ketiga adalah reformasi.
Periode ini mrupakan
satu titik balik terpenting dalam
rancang bangun teologi
yang membawa Alkitab
sebagai satu-satunya kebenaran
dan dasar pijakan utama.
Pada masa ini berkembang
teologi yang mendorong kembali pada Alkitab dan menegakkan ajaran yang
benar tentang kekristenan (akibat penyimpangan
yang terlalu jauh
dari praktek dalam
gereja katolik yang mengutamakan
tradisi). Tokoh yang muncul
adalah Marthin Luther, John
Calvin, Ulrich Zwingli. Merekalah yang berperan dalam memunculkan teologi
protestan yang pengaruhnya berlangsung hingga saat ini. Dalam periode ini, ilmu pengetahuan juga semakin maju dan
berkembang. Ajaran gereja yang menyebutkan bahwa bumi sebagai pusat tata surya diruntuhkan oleh lahirnya teori Copernicus yang ternyata
membuktikan bahwa justru
mataharilah yang menjadi
pusat tata surya dan bumi
mengelilingi matahari. Kolombus juga berhasil mendarat di benua Amerika sehingga
membuktikan bahwa teori
bumi datar tidaklah
benar. Gereja Katolik mulai
digugat dengan gerakan
kembali ke sumber
iman Kristen yakni Alkitab dan menggeser secara radikal
posisi tradisi dalam gereja. Keinginan untuk memperbaiki gereja
semakin kuat dan
menyebar di seluruh
Eropa. Gereja protestan sebagai
buah kandung reformasi
tumbuh dengan pesat
dan mengembangkan sendiri rancang
bangun teologinya, yang
sama sekali berbeda dengan teologi katolik. Bagian
terakhir dari periodisasi Ernns adalah teologi zaman modern. Pada
awalnya teologi ini
dipengaruhi oleh zaman pencerahan
yang membawa orang-orang
pada sentralitas manusia
dan kemampuan penalarannya.Pada masa Gereja Timur kemudian berkembang dengan
tradisi yang sangat kuat misalnya di Rusia dan Yunani dan menekankan
spiritualitas liturgi gerejawi. Istilah ortodoks kemudian melekat pada
gereja-gereja Timur. 34 Mathin Luther seorang imam gereja Katolik memakukan 95
tesis di pintu gereja Wittenberg sebagai protes resminya atas berbagai
penyimpangan di dalam gereja. Hari dimana ia melakukan itu, 31 Oktober 1517
dikenal sebagai hari lahirnya gerakan reformasi yang kemudian melahirkan agama
Kristen Protestan. Semboyan terkenal
gerakan ini adalah Sola Gratia (hanya oleh anugerah), Sola Fide (hanya oleh
iman) dan Sola Scriptura (hanya oleh Alkitab).
Abad ke-18 (1700-1800) disebut abad pencerahan (Jerman: Aufklarung atau
Inggris: Enlightenment). Selama abad ini terjadi perubahan dramatis dalam
kebudayaan Eropa dimana orang makin percaya kepada terang cerah akal dan daya
pikir. Akal menjadi orientasi utama yang dipercaya membimbing manusia. Segala
tradisi yang selama ini berlaku di dalam seluruh aspek, diteliti menggunakan
akal budi. Tidak lagi ada hal yang dianggap benar hanya karena reformasi, suatu
tradisi gereja akan ditolak jika tidak sesuai Alkitab. Tetapi di zaman
pencerahan, Alkitablah yang
justru dikaji secara
kritis terlepas dari
ajaran gerejawi.Dalam fase ini
berkembang berbagai ajaran
teologi seperti melalui sejumlah teolog modern seperti
Immanuel Kant, Friedrich Schleiermacher, George Hegel. Kemudian pada awal tahun
1900 terjadi perubahan baru dengan munculnya Karl Bath dengan neo-ortodoksnya,
Paul Tillich dengan Systematic Theology-nya.
Dalam kurun waktu
ini juga muncul
berbagai aliran baru
dalam teologi modern seperti
teologi liberal dan
teologi-teologi yang bersifat
lokal. Jika dibandingkan dengan
periodisasi pertama, sejarah teologi memperlihatkan kepada kita, telah terjadi
perubahan yang demikian besar dalam dinamika dan arus teologi disetiap zaman.
Teologi masa abad
pertama misalnya yang
sangat menekankan kemurnian
ajaran, sudah tidak mendapat tempat lagi di abad modern dimana yang
terjadi justru sebaliknya;
keilahian Kristus dipertanyakan, hal-hal
yang semula diagungkan di abad
pertama seperti kematian dan kebangkitannya secara jasmani, digugat dalam
perkembangan teologi modern. Satu yang
menarik dalam periodisasi
ini adalah berlangsungnya Konsili Vatikan II
yang kemudian merombak
platform teologi Gereja
Katolik secara mengejutkan. Sejak
reformasi berlangsung, gereja
ini semakin tertutup
dalam ajarannya dan perubahan. Tetapi melalui konsili II, modernitas
menjadi isu penting dalam gereja. Perubahan
akibat modernitas tidak
lagi dipandang sebagai sebuah momok
tetapi didekati melalui
sebuah dialog untuk
menciptakan perjumpaan, terutama
terhadap berbagai hal yang berlangsung atau terjadi di luar gereja. Gereja
menjadi lebih terbuka untuk usaha-usaha dialog yang ekumenis.38 Sebelum Vatikan
II, gereja terkesan hati-hati dengan gerakan ekumenis tersebut. Tetapi pasca
Vatikan II, gereja Katolik
terlihat aktif dan
mendorong dialog eikumenis
dengan gereja-gereja yang
terpisah dari tahta apostolik Roma seperti gereja-gereja Timur, gereja-gereja
Barat dan gereja-gereja lain. Hubungan antar- gereja menjadi harmonis dan
komunikatif. Bahkan sebelum penutupan konsili, sudah terbentuk Kelompok Kerja
Sama (Joint Working
Group) antara gereja
Katolik Roma dengan
Dewan Gereja-gereja Sedunia.Hal
baru semacam ini telah membuat gereja
secara institusional tidak lagi berjarak dengan dunia,
tetapi justru ikut mewarnai
dunia. Gereja juga membuka
wawasan baru di dalam hal misi. Salah satu dokumen adalah Ad Gentes, dekrit
tentang kegiatan misioner gereja. Gereja bukan lagi dianggap sebagai pusat misi
itu sendiri melainkan Kerajaan Allah.
Dalam hal ini, konsili memberi hormat dan tempat pada pusat-pusat kebudayaan
lokal, agama-agama lain dan sikap positif pada dunia; yang dianggap oleh
gereja sebagai tempat dimana
Allah aktif bekerja dalam usaha penyelamatan-Nya. Satu
langkah ke arah
pluralisme juga sudah dilakukan melalui Konsili Vatikan II
ini. Para Bapa Konsili mengakui adanya unsur-unsur yang baik dan benar di dalam
agama-agama lain, serta terdapat hal-hal yang berharga, baik secara keagaamaan
maupun manusiawi. Di dalam agama-agama lain itu
juga terdapat kebenaran iman dan
benih-benih Sabda Allah.
Oleh karena itu gereja mengajak
dan mendorong pendekatan dialogis terhadap penganut agama lain dan kerja sama
yang tulus dengan mereka.40 dulu dianggap benar.
Melalui eksperimen, orang akan meneliti sendiri apakah itu benar atau tidak.
Pendetakan ini mengawali metoda histroris kritis yang terkenal itu. Thomas
Hidya Tjaya, “Janganlah Takut Menghadapi Dunia,” dalam Teologi di abad ke-20 semakin
berkembang ke arah yang baik
tetapi tidak semua yang baik
dapat dipertanggung-jawabkan secara
biblikal. Fenomena munculnya arus
teologi liberal, neo-liberal,
neo-ortodoks dan berbagai
faham teologi lain sebagai
hasil historis kritis
(seperti teologi eksistensial, teologi Allah mati, teologi proses, teologi
pembebasan) justru menghilangkan firman Tuhan yang berotoritas itu sebagai
sebuah kedaulatan tertinggi. Mengamati
timeline ringkas perkembangan
teologi di atas
bukan saja membuat kita memahami dinamika di
dalam lingkup teologi sejak abad
pertama hingga modern, tetapi mengerti perkembangan-perkembangan yang
terjadi dalam arus utama teologi yang secara signifikan membawa dampak bagi gereja. KECENDERUNGAN PERKEMBANGAN TEOLOGI ABAD
21 Jika timeline perkembangan teologi
diamati dengan seksama maka muncul satu
pertanyaan penting, bagaimanakah
perkembangan rancang bangun
teologi modern di dekade
pertama abad ke-21? Itulah
yang akan di bahas di dalam bab berikut ini. Pembahasannya
disampaikan dalam bentuk bagian demi bagian.
Kecenderungan Menuju Teologi Imanensi Dengan memperhatikan berbagai
fenomena yang ada dan tren yang muncul di dalam abad ke-21 sebagai abad dimana
ajaran filsafat pragmatisme, rasionalisme dan
empirisme kembali mendapat
tempatnya, manusia akan
memiliki kecenderungan untuk menyimpulkan segala sesuatu dengan bertitik
tolak semata-mata pada alam dan
natur manusia yakni akal budi. Inilah
yang disebut dengan teologi
imanensi. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi penjelasan bahwa
imanen artinya berada dalam kesadaran atau akal budi.
Secara
harafiah artinya ‘tinggal di dalam’. Penjelasan dari Tom Jacobs sangat bagus
tentang arti kata ini. Dikatakannya, imanen adalah salah
satu sifat Alllah
dimana Dia tidak
hanya berada di
atas sana dan terpisah
dengan ciptaanNya (transenden)
melainkan juga ada
di dalam dunia meskipun tidak berasal dari dunia
(imanen). Daniel Lukito menangkap memang terdapat satu kecenderungan teologi di
abad ke-21yang dibangun di atas landasan imanensi. Sebagai akibatnya, Allah yang
transenden itu menjadi hilang
dan lebih banyak menjelma
di dalam kehidupan
manusia di dunia.
Keberadaan Allah dianggap
menyerap dan berbaur di dalam seluruh alam, peristiwa dan kehidupan
manusia.Bahaya dari bangun teologi
semacam ini adalah menghilangkan setiap
aspek transendensi Allah dan mereduksi Allah yang transenden itu ke dalam
hal-hal praktis, terlihat dan terukur bahkan terancam dijadikan sama dengan
dunia. Sifat kemahakuasaan dan supernatural
Allah tidak diterima
di dalam lingkup
teologi imanensi. Memusatkan bangun teologi atas imanensi, seperti kata
Jacobs, membawa
bahaya monisme atau
bahkan panteisme. Yang
menjadi pertanyaan adalah, mengapa imanensi ini
mendapat tempat? Orang
modern yang semakin rasional, empirik dan
pragmatis dalam kehidupannya
sehari-hari, juga akan
cenderung berpikiran sama di
dalam memaknai Allah
dan hubungannya dengan
Allah. Ditambah dengan arah
pergerakan dunia dan semua produknya
ke hal-hal yang semakin
praktis akan membuat dasar pijakan
yang kokoh bagi teologi ini untuk berkembang. Pertanyaan selanjutnya
adalah, bagaimana seharusnya? Menarik
sekali apa yang diungkapkan oleh Grenz dalam bukunya yang sangat bagus
tentang 20th Century Theology. Teologi Kristen terbaik adalah teologi yang harus dibangun secara seimbang antara dua kebenaran
ilahi yang paling
hakiki yakni transendensi dan imanensi. Pada satu tangan, Allah
terhubung dengan dunia secara
transenden. Karena itu,
Dia bukan bagian
dari dunia dan
melebihi alam semesta.
Pengkhotbah mengatakan bahwa “Allah ada di Surga dan engkau di bumi” (Pkh 5:1). Sementara itu di
tangan yang lain, Allah
tampil sebagai pribadi
yang imanen, yang artinya hadir di dalam ciptaan-Nya. Dia ada di dalam
sejarah manusia, mengatur dan mengontrol
alam semesta dan berada di dalam setiap proses yang berlangsung dalam
dunia ini. Seperti
Rasul Paulus katakan
dalam salah satu kotbahnya kepada orang-orang Yunani
dalam sebuah pertemuan di Aeropagus, “di dalam
Dia kita hidup,
kita bergerak, kita
ada” (Kisah 17:28).46 Penekanan
pada imanensi hanya akan
membuat teologi berkembang
mendukung perkembangan zaman yang
makin sekular dan
makin jauh dari
kebenaran hakiki yang sesungguhnya yakni firman Allah. Menguatnya Teologi Sekularisasi Teologia sekularisasi
akan menjadi salah
satu pilar teologi
abad ke-21 dimana akan
banyak orang yang
semakin berpikir, bertindak
dan berperilaku dengan cara
memisahkan secara radikal dan tegas antara hal-hal sekular dan hal-hal yang
sakral. Akibatnya, hal-hal yang sakral
tersebut akan semakin terkunci di ruang
yang paling pribadi dan dalam pengaruh yang makin dipersempit areanya. Sebagai
abad yang bercorak teknologi, agama yang sakral dan segala sesuatu yang
sifatnya supernatural, tidak
mendapat tempat dalam
sistem budaya dan
sosial. Sekularisasi banyak mengambil alih paradigma, nilai dan bahkan
tindakan manusia. Orang mulai fokus pada hal-hal yang duniawi, yang ada di
dalam dunia ini daripada urusan supernatural di dalam gereja.
Dampaknya,
pandangan orang mengenai iman Kristen mulai berubah dan mengalami pergeseran.
Masyarakat berpaling pada azas-azas ideologi
lain sebagai sebuah tanggap
sejarah atas perkembangan
pemikiran baru di tengah
arus modernitas. Salah
satu penyebabnya adalah
struktur pembentukan masyarakat Barat yang di awali dengan pra-anggapan
pra-anggapan Monisme adalah teori
filsafat yang memandang bahwa segala sesuatunya pada dasarnya adalah satu.
Monisme beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara Tuhan pencipta dan
ciptaanNya. Ini menjadi dasar kepercayaan theistic yang kemudian di bawa kepada
panteisme. Panteisme adalah paham yang
memandang Allah ada di dalam segala-galanya dan segala-galanya adalah Allah. Jacobs, Paham Allah, Stanley J. Grenz dan Roger E. Olson, 20th
Century Theology – God and the world in a transitional Age (Illionis:
InterVarsity Press, 1992), Sonny Eli
Zaluchu, “Mengkritisi Teologi Sekularisasi,” Sekuler (non-keagaamaan) dimana aktifitas beragama dipandang sebagai sebuah pilihan yang sangat pribadi
bagi individu. Dalam pandangan Karel Dobbelaere sekularisasi adalah suatu
proses dalam masyarakat yang telah mengalami perubahan-perubahan struktural, di
dalam mana suatu sistem keagamaan
yang transenden dan
mencakup segalanya disusutkan menjadi suatu subsistem dari
masyarakat yang ada bersama subsistem-subsistem lainnya; proses
ini membuat klaim-klaim
tentang pencakupan segalanya
itu kehilangan relevansinya. Dengan demikian, lembaga
agama termarjinalisasi dan terprivatisasi. Dengan
kata lain, aturan-aturan
keagamaan tradisional, atau norma-norma yang
didasarkan pada nilai-nilai
keagamaan, akan semakin digantikan oleh
norma-norma sekular atau
betul-betul tersingkir, menjadi
tidak dapat dipakai di
dalam subsistem-subsistem pendidikan,
keluarga, politik, hubungan
sosial, ekonomi, dan sains, yang berbeda-beda. Bahaya dari teologi yang
dibangun dengan cara
seperti ini sangat jelas. Manusia sesungguhnya diarahkan semakin menjauh dari
Tuhan. Jika dibiarkan terus tanpa kontrol, maka pintu bagi sekularisme menjadi terbuka selebar-lebarnya. Titik tolak teologi
sekularisasi adalah munculnya penafsiran baru soal kehidupan
kekristenan. Teologi ini adalah hasil dari pemikiran para teolog Barat yang
dipengaruhi oleh semangat modernisme yaitu rasionalisme dan sekularisme, yang
sebetulnya adalah ciri masyarakat abad
ke-20. Penafsiran baru ini menolak
penafsiran lama yang menyatakan bahwa
ada alam lain yang
lebih hebat dan
lebih agamis dari
alam ini. Para
teolog ini beranggapan bahwa alam yang lebih nyata dan kerajaan yang sebenarnya adalah realitas yang ada saat ini
yaitu dunia. Sebagai milik Allah,
manusia bukan berarti tanpa dunia. Manusia
tinggal dan berada
di dalam dunia
dan harus menemukan sikap yang
sebenarnya terhadap Allah
dan dunia. Sikap
yang benar itu
adalah membiarkan Allah tetap
Allah dan dunia
tetap dunia. Sebagai
akibat semakin mengarah ke ajaran sekularisasi
tentu saja berbeda dengan sekularisme. Pengertian yang sangat radikal dari
sekularisme adalah sebuah upaya penolakan atau pengusiran agama dan pemikiran
religius dari kehidupan manusia. Bahkan dapat mengarah pada usaha untuk
menyangkal Tuhan seutuhnya (atheis). Pusat kehidupan sepenuhnya adalah dunia
ini melalui akal budi manusia. Sekularisme menekankan pada usaha yang menggeser
bahkan menyingkirkan Allah dari realitas kehidupan. Akibatnya, Allah tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang ada, Allah menjadi sesuatu yang abstrak dan tak
terjangkau; sebaliknya, segala sesuatu dianggap lahir dari proses alamiah,
natural; atau, sebagai proses yang berlangsung dalam dunia ini, yang dapat
dipahami secara rasional berkat kemampuan akal budi manusia yang melahirkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bedanya dengan sekularisasi adalah
posisi agama yang masih diakui walau tidak lagi mendapat peran publik.
Sekularisasi tidak langsung menyangkal eksistensi Allah dan menginjinkan
seseorang memeluk agamanya secara pribadi. Keyakinan seseorang melalui agamanya
tidak boleh mencampuri berbagai persoalan yang ada di tengah masyarakat. Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris
Abad ke-20 (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004), sekulernya masyarakat
di zaman modern,
terjadi perubahan radikal
di dalam memandang gereja,
ajarannya dan terhadap kitab suci. Gereja dan otoritas kitab suci mulai dipertanyakan
dan beberapa isinya
dianggap tidak relevan
lagi. Muncul pendekatan baru terhadap
kita suci dengan memperlakukannya sebagai
produk literer. Dalam anggapan ini, Alkitab diperlakukan sebagai
dokumen-dokumen yang lahir dari sejarah. Inilah yang kemudian melahirkan
pendekatan yang bersifat kritis-historis terhadap Alkitab. Terdapat banyak
tokoh dan teolog yang ikut menggagas teologi sekularisasi seperti Thomas J.J
Altizer, William Hamilton, Gabriel Vahanian dan Richard Rubenstein.Pokok
pikiran mereka mendukung konsep Allah mati di dalam dunia modern.Salah seorang teolog yang mencoba melakukan pendekatan baru dengan dengan dunia modern adalah Friederich
Gogarten (1887), seorang pakar di dalam ilmu teologi. Gogarten memikirkan suatu
konfrontasi iman Kristen dengan realitas
dunia yang telah berubah menjadi sekuler. Menurutnya, sekularisasi adalah
produk iman Kristen sendiri; sebuah gejala post-Kristen sebagai akibat yang
wajar terjadi. Iman Kristen mendorong manusia untuk menguasai dan mengelola
bumi. Manusia bukan hanya manusia yang tanpa Allah melainkan juga bukan manusia
yang tanpa dunia. Manusia berada di antara Allah dan dunia dan harus menemukan
sikap yang sebenarnya terhadap keduanya. Itulah sebabnya Gogarten setuju
membiarkan Allah tetap Allah dan
manusia tetap manusia.
Untuk itu, Gogarten
membedakan dua macam
sekularisasi. Yang pertama adalah sekularisasi yang tetap terikat pada iman
Kristen dan itulah yang harus diperjuangkan. Jangan sampai sekularisasi berubah
jadi sekularisme (bentuk kedua), yakni sekularisasi yang melepaskan diri dari
iman Kristiani. Sekularisme merupakan
penyelewengan dari sekularisasi.
Inilah yang menjadi tugas
iman Kristen di dalam teologi sekularisasi, melindungi sekularisasi agar
tidak menyeleweng menjadi sekularisme.Tokoh
kedua yang mendukung
teologi sekularisasi ialah
Dietrich Bonhoeffer (1906-1945). Belajar teologi di Union Theological
Seminary New York sebelum akhirnya menjadi
dosen teologi di
Berlin. Ia juga
sempat belajar di Universitas Tubingen.
Saat kembali ke
Jerman Bonhoeffer adalah
salah seorang penentang Nazi
dan arogansi Hitler
dengan ras Arya-nya.
Aktifitas politiknya membuat ia
dilarang berbicara di depan
umum dan juga dilarang
menulis atau mengedarkan buku. Ia
ditangkap dan dipenjarakan tahun 1943 dan dihukum mati oleh Nazi pada tahun
1945, beberapa hari sebelum Jerman menyerah pada sekutu. Di dalam penjara ia
menulis sebuah karya yang terkenal Letters and Papers from Prison.
Pemikirannya sangat terinspirasi oleh Karl
Bath. Bonhoeffer mendukung
pemikiran Gogarten mengenai
kemampuan akaliah manusia
yang telah memproklamasikan mengenai ‘kematian Tuhan’.
Di dalam bagian itu, Nietzsche menceritakan seorang gila yang berlari di pasar
saat pagi cerah dengan membawa dian di tangannya sambil berseru-seru, “Aku
mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” Orang-orang menertawakannya dan balik
bertanya, “Apakah Tuhan hilang atau tersesat seperti anak kecil? Apakah Ia
bepergian atau berimigrasio?”. Orang gila itu melompak ke tengah-tengah mereka
dan berteriak, “Tuhan binasa. Aku berkata kepadamu. Kita telah membunuhNya.
Kamu dan aku”. Oleh karena orang-orang itu tidak mengerti apa yang
dimaksudkannya, ia pergi mengembara ke gedung-gedung gereja di kota dan
berteriak: “Apa gedung-gedung gereja ini, jika bukan makan dan nisan-nisan
Tuhan?” Pokok pikiran Nietzsche dapat di selami dalam sebuah buku terbaru
berjudul “Para Pembunuh Tuhan” yang diterbitkan oleh Kanisius (2009). Harun Hadiwijono, hal. 53-53. Berkembang sehingga
menjadikan dunia menjadi sekuler. Itu adalah
bagian dari sejarah yang mau
tidak mau harus
disikapi. Dalam pandangan
Bonhoeffer, sekularisasi
telah mengakhiri keberadaan
agama. Dalilnya yang
terkenal menyebutkan bahwa zaman sekarang ini adalah zaman
akhir religi karena sudah bukan zamannya lagi orang dipengaruhi dengan
kata-kata yang saleh. Bagaimanapun
teologi sekularisasi bukanlah
teologi yang membawa kembali otoritas Alkitab sebagai
firman Allah yang hidup. Pandangan orang sekuler terhadap Alkitab justru
bertolak belakang dengan misi dan keberadaan Alkitab itu sendiri sebagai
penyataan khusus Allah kepada manusia. Bahkan kalau dunia
ini disebut sekular, maka
tugas orang Kristen bukanlah menjadi ikut
sekular seperti dunia tetapi justru mengubah dunia dengan menggaraminya
menggunakan firman Allah. Berkembangnya
Teologi Akhir Zaman Abad ke-21 adalah
abad dimana teologi eskatologis (dari
bahasa Yunani yang berarti
‘terakhir’) akan kembali menjadi isyu teologi terpenting. Baru-baru ini film
tentang akhir zaman berjudul 2012
menjadi bahan pembicaraan yang ramai. Film
itu diangkat dari
sejumlah buku konspiratif
yang disusun berdasarkan penanggalan kalender suku bangsa
Maya yang meramalkan bahwa pada tanggal 21 bulan 12
tahun 2012, terjadi pergantian menuju tahun
baru dalam penanggalan Maya. Hebohnya
penanggalan ini muncul
karena bangsa Maya meyakini
bahwa dalam siklus penanggalan mereka, tanggal tersebut sekaligus
menandai era baru di dalam sejarah manusia.Pada titik inilah teori konspirasi
mulai muncul dan seperti efek domino, kiamat tahun 2012 menjadi topik paling
hangat. Berbagai pakar mulai melihat kemungkinan itu dari sudut pandangan
keilmuan masing-masing. Apalagi dalam
konteks kebudayaan Maya,
disetiap akhir siklus
kalender mereka, menyongsong abad
yang baru, selalu terjadi bencana alam, saking hebatnya dapat menghancurkan
sebuah peradaban.58 Apakah ini yang disebut kiamat? Persoalan yang selalu
terulang dari sebuah teologi eskatologis adalah tidak ada seorangpun yang mampu
meramalkan dengan tepat kapan sebetulnya kiamat atau akhir zaman itu
berlangsung dan dengan cara apa Tuhan bekerja. Banyak bidat-bidat dan
pengajaran Kristiani yang
sesat dalam membangun
teologi akhir zamannya, selalu
berakhir dalam situasi yang sama, ramalan mereka akhirnya tidak terbukti.
Pertanyaannya, mengapa ini menjadi sebuah tren di abad ke 21? Bisa jadi,
pragmatisme, rasionalisme dan
empirisme telah mengikis
sikap peduli manusia terhadap hal-hal
yang sakral. Sementara itu, dalam pergumulan menjalani hidup di dunia ini terbukti bahwa tidak semua
hal bisa diselesaikan oleh manusia dengan segala
kehebatan dan kepintarannya. Artinya,
natur manusia yang
terbatas itu selalu mengikuti
pencapaian apapun yang telah berhasil dilakukan manusia. Itulah sebabnya muncul pengharapan akan keadaan
yang jauh lebih baik, pengharapan
akan masa depan yang menjamin kehidupan kekal.
Ciri khusus dari
eskatologi Kristen adalah
sifat sentralitas Kristus. Kedatangan-Nya yang kedua kalinya
akan menandai berakhirnya era manusia dan mulainya era pemerintahan seribu
tahun. Eskatologis bukan hanya mengajak orang untuk merenungkan secara pribadi
tentang nasib akhir dirinya, tetapi lebih untuk
membiarkan perspektif
pengharapan yang ada
didalamnya mempengaruhi
kehidupan secara menyeluruh.Jika teologi
semacam ini yang
dibangun, maka tentulah
alkitabiah. Tetapi perkembangan teologi
akhir zaman yang berkembang
belakangan ini justru
tidak memiliki ciri
eskatologi Kristen dan
terjebak pada konspirasi yang
dirancang oleh pandangan agama lain, para ilmuwan dan scientific dan juga oleh
penulis-penulis buku popular. Bahaya membangun teologi eskatologi yang
melenceng dari natur kekristenan sangat
mengerikan. Terjadi penipuan dan rekayasa, bahkan munculnya sikap
manipulatif untuk membentuk opini
manusia, termasuk dalam membentuk opini orang percaya melalui kutipan firman
Tuhan. Eskatologis akhir zaman
seharusnya membangkitkan pengharapan mesianik yang
kuat dan bukan
justru membangun ketakutan
atau kekuatiran. Alkitab memang
secara tegas menyatakan
bahwa akhir zaman
akan tiba secara misterius. Tetapi
Alkitab sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang kapan tepatnya terjadi. Misteri di dalam
tema ekstatologis telah menarik banyak minat teolog
dari masa ke
masa yang telah
mencoba mengembangkan dan menafsirkannya. Besar kemungkinan bahwa
dalam menyongsong paruh kedua abad ke-21
yang akan datang,
tema eskatologis ini
akan semakin menjadi
bahan pembicaraan sekaligus perdebatan baik di kalangan teolog, gereja
maupun awam. Di antara sejumlah
alasannya, faktor melemahnya
teologi kemakmuran yang sempat
mendominasi pengajaran teologi
abad kedua puluh,
telah membuka kesempatan bagi
hadirnya tema eskatologis sebagai rancang bangun pengganti yang akan
populer. Bentuk Baru Teologi
Liberal Bursa buku
teologi di Indonesia
akhir-akhir ini menjadi
semakin ramai dengan hadirnya
sejumlah bacaan yang selama ini terkesan tabu dibicarakan dalam lingkup teologi
gereja. Bacaan-bacaan yang
oleh gereja mula-mula
digolongkan sebagai bidat dan ajaran sesat, justru telah menarik minat
kalangan akademik untuk menyelidikinya
dan memperkaya pengetahuannya. Setelah
dunia teologi dihebohkan
dengan penemuan makam Talpiot maka
bermunculan berbagai teori konspiratif
tentang Yesus, kredibilitas
keilahian-Nya dan orisinalitas
ajaran-Nya dalam Injil. Hadirnya buku-buku yang membeberkan injil-injil
tersembunyi seperti Injil Filipus, Injil Maria Magdalena, Injil Yudas dan juga
keberadaan surat-surat yang selama
ini tertutup dari
kalangan awam seperti
Surat Henokh, telah
memancing perdebatan seru tentang keilahian Yesus Kristus. Sebetulnya
isu tersebut di
atas bukan hal yang baru dalam
dunia teologi. Tetapi
melihat tren yang
ada dalam perkembangan
pengetahuan
(penemuan-penemuan baru dari
naskah-naskah kuno dan
sifat publisitasnya yang
gencar), tantangan Injili yang
terbesar di abad ke-21 adalah menghadapi rancang bangun teologi liberal
yang makin solid dan meluas. Salah satu usaha dari kelompok liberal ini adalah
membuang semua unsur yang bersifat supernatural dalam kekristenan. Usaha yang
paling nyata dilakukan oleh kelompok Yesus Seminar. Yesus Seminar adalah kelompok para sarjana
Alkitab liberal yang bergabung dengan
satu tujuan yakni
mengkaji keotentikan kitab-kitab
Injil melalui penyelidikan ilmiah
mengenai perbuatan dan
perkataan Yesus.60 Asumsi mereka
59 Sinclair B. Ferguson, David F. Wright dan J.I. Packer, New Dictionary
of Theology Jilid 2 (Malang: Literatur SAAT, 2009), 65. 60 Stevri Indra Lumintang,
Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama (Malang: Gandum Mas, 2009), 184-185.
18 adalah Injil
tidak otentik kecuali
jika dibuktikan terbalik.61
Kesimpulan dari kelompok ini
sangat mencengangkan. Menurut
mereka, Yesus tidak
pernah menuntut diri-Nya sebagai
Mesias dan tidak
bernubuat tentang akhir
zaman. Ucapan Yesus pada malam perjamuan kudus dianggap sebagai rekaan
para murid, dan doa bapa
kami tidak diajarkan
oleh Yesus melainkan
disusun oleh para pengikut-Nya.62 Kelompok
ini semula terdiri
dari 200 anggota
tetapi berkurang menjadi 74 orang
pada saat mereka mempublikasikan buku penelitian mereka The Five Gospels.
Mereka dengan seksama memeriksa keempat Injil (termasuk juga Injil Thomas) dan
berusaha menemukan autentisitas setiap perkataan Yesus.63 Berbeda dengan edisi
tradisional yang menggunakan warna merah untuk perkataan Yesus, kelompok Yesus
seminar menggunakan empat
warna. Jika itu
berwarna merah, maka itu
adalah perkataan Yesus.
Merah muda berarti,
kedengarannya seperti perkataan
Yesus. Warna abu-abu artinya, itu mungkin perkataan Yesus. Sedangkan warna
hitam artinya, telah terjadi kesalahan.64
Rancang bangun teologi liberal di abad ke-21 akan semakin mencari
bentuk-bentuknya yang baru dan tentu saja semua usaha itu akan langsung
menyerang inti Kekristenan yang selama
ini bertahan hingga ribuan tahun
yakni keilahian Yesus Kristus.
Dengan dipadukannya berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi,
sejarah dan penelitian
ilmiah ke dalam
ilmu teologi, maka
tidak tertutup kemungkinan di
abad ke-21 akan
terjadi banyak gugatan
yang lebih sistematis dengan bobot yang lebih besar
terhadap isu-isu dasar kekristenan. Teologi liberal dapat menjelma
di dalam berbagai
forum dan sekolah-sekolah Alkitab
untuk menghancurkan dasar kekristenan yang paling hakiki. Hadirnya sejumlah Injil tersembunyi
dalam ranah publik patut diwaspadai
sebagai usaha teologi
liberal yang tersamar
dalam memberikan informasi menyesatkan kepada
masyarakat yang selama
ini menjadikan Alkitab
sebagai pegangan satu-satunya terhadap kebenaran. Keberadaan buku-buku
tersebut dapat menggoncang iman. Melihat
berbagai tanda dan
ciri perkembangan masyarakat modern di abad ke-21,
maka dapat disimpulkan
bahwa gugatan demi
gugatan terhadap Alkitab dan
kebenaran ilahi Yesus
Kristus akan semakin
mengkristal. Inilah
tantangan utama bagi
gereja agar umat
Tuhan tidak terpengaruh
oleh berbagai situasi tersebut dan tetap memegang teguh
kepercayaannya. Terdapat banyak
kecenderungan dan perkembangan
lain yang mungkin menjadi ciri rancang bangun teologi
abad ke-21 tetapi paling tidak, empat analisis di atas
dapat membuka wawasan
kita mengenai bentuk
teologi apa yang
61 Hasil penyelidikan mereka diterbitkan dalam sebuah buku berjudul
Authentic Words of Jesus, The Five Gospel, What Did Jesus Really Say? Diterbitkan tahun 1993. 62 N.T Wright, Who
Was Jesus? 63 Metode yang mereka pakai untuk mengambil keputusan apakah sebuah
ayat betul sebagai perkataan Yesus, sangat tidak ilmiah. Mereka melakukan
pemungutan suara. Pertama, mengumpulkan ucapan-ucapan yang dianggap dari Yesus,
kemudian dibagi dalam kategori, yaitu perumpamaan, aforisme, percakapan dan
cerita-cerita mengandung ucapan Yesus. Ucapan yang pendek dianggap lebih asli.
Kedua, mereka melakukan pemungutan suara oleh yang hadir. Jika asli maka diberi
warna merah (nilai 3/75%), mungkin asli diberi warna merah muda (nilai 2/50%),
mungkin tidak asli diberi warna abu-abu (nilai 1/25%) dan tidak asli sama
sekali diberi warna hitam (nilai 0). Hasilnya, 82% ucapan yang dikatakan Yesus
dalam Injil adalah tidak benar-benar diucapkan oleh-Nya. 64 Robert Funk, Roy
Hoover dan Jesus Seminar, The Five Gospels: The Search fot the Authentic Words
of Jesus (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), 37, seperti dikutip
dalam Douglas Groothuis, Jesus in an age of Controversy (Jakarta: Verbum Dei Books,
2008), berkembang di zaman modern
ini dan dapat
membaca kemana arahnya. Melalui
fenomena tersebut, gereja
tentu saja dituntut untuk bersikap dan
memposisikan diri.
PENUTUP
Kesimpulan
Gereja atau umat Allah diharapkan
selalu berada dalam perubahan positif, agar tegar dan siap terus melaksanakan
tanggung jawab vertikal dan horizontalnya. Apakah orang yang beragama selalu
memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas? Sekalipun ada tantangan
seperti konfik internal dan eksternal karena kebangkitan agama-agama dan
kesadaran masyarakat agamawi, namun masih ada harapan bagi umat Allah di
Indonesia. Dua prinsip yang perlu diingat dan diterapkan.
1. Gereja dapat bekerjasama dengan
orang yang beragama lain dalam bidang social kemasyarakatan. Biarkan istilah
“Agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu” berada dalam kehidupan
masyarakat kita sampai ada pengakuan transformatif, “Allahmu adalah Allahku,
Kristusmu adalah Kristusku.”
2. Transformasi hidup datang dari
TUHAN Allah, yang telah menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Usaha paksa
agamawi tidak cocok dengan kebenaran Alkitabiah dan keyakinan manusia. Inatlah
perkataan Yesus Kristus, Perantara
Yang Mahatahu, Juruslamat manusia,
sesuai dengan tulisan rasul Yohanes: “Tidak ada seorang pun yang dapat datang
kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik
oleh Bapa.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, Ivanovich. Diskursus,
Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Brown, Robert McAfee. Gustavo
Gutierrez: An Introduction to Liberation Theology. Eugene,
Oregan: Wips and Stock Publisher,
2013.
Buntu, Ivan Sampe. “Membaca Teks
Dalam Pandangan Poskolonial: Catatan Kritis Atas
Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci.”
BIA’: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen
Kontekstual 1, no. 2 (2018): 179–190.
Cavanaugh, William T., Peter Manley
Scott (ed.). Wiley Blackwell Companion to Political
Theology. USA: John Wiley &
Son.Ltd, 2019.
Gorringe, Tim. “Cult books revisited:
Gustavo Gutierrez‟s A Theology of Liberation.”
Theology 120, no. 4 (2017): 246-252.
https://doi.org/10.1177/0040571X17698408.
Gutiérrez, Gustavo. A Theology Of
Liberation History, Politics, And Salvation. Maryknoll,
N.Y.: Orbis, 1973.
Gutiérrez, Gustavo, and Gerhard
Ludwig Müller. On the Side of the Poor: The Theology of
Liberation. Maryknoll, New York:
Orbis Books, 2015.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Jati, Wasito Raharjo. “Agama dan
Politik: Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi
Agama.” Walisongo 22, no. 1 (Mei
2014): 133-156. Diakses 24 Januari 2019.
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/262/243.
Lumintang, Stevri I. Theologia
Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas,
2004.
Mali, Mateus. “Gutiérrez dan Teologi
Pembebasan.” Orientasi Baru 25, no. 1 (April
2016): 19-36. Diakses 22 Januari
2019.
http://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/viewFile/1099/871.
Howson, Chris. A Just Church: 21st
century Liberation Theology in Action (NY: Continuum
International Publishing Group, 2011.
Natalie. “Evaluasi Kritis Terhadap
Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan.” Veritas 1,
no. 2 (Oktober 2000): 181-191.
Petrella, Ivan. The Future of
Liberation Theology: An Argument and Manifesto. 1st ed.
Routledge, 2017. Accessed March 29,
2019.
https://www.taylorfrancis.com/books/9781315239460.
Sendjaja, Hendri Mulyana.
“„Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang
Miskin, Tertawan dan Tertindas‟:
Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan
Amerika Latin dan Perkembangan
Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia.”
Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi
di Indonesia, Jakarta: STT IKAT, 2018.
Sigmud, Paul E. Liberation theology
at the crossroads : democracy or revolution? New York:
Oxford University Press, Inc, 1990.
Timmerman, Bobby Steven.
“Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan “Para Petani
Miskin Yang Tersalib” Di Paroki Mara
Satu.” Orientasi Baru 23, no. 1 (April
2014): 17-29. Diakses 25 Januari
2019.
http://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/view/1136/900.
Wijaya, Hengki. “Analisis Biblika
Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam
Kekristenan.” Diakses 2 Februari
2019.
https://repository.sttjaffray.ac.id/publications/269022/analisis-biblika-terhadapkonsep-teologi-pembebasan-di-dalam-kekristenan.
Wijaya, Hengki. Analisis Data
Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi. Makassar: Sekolah Tinggi
Theologia Jaffray, 2018.
Zaluchu, Sonny Eli. Sistematika Riset
dan Analisis Data Kuantitatif. Semarang: Golden Gate
Al-Bantani, Syekh Muhammad An-Nawawi,
Mencari Cahaya Ilahi Menuju Keimanan Sejati
Mencapai Keselamatan Dunia Akhirat,
Terjemahan K.H. Abdullah Zakiy Al-Kaaf,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Barker, Kenneth, ed., The NIV Study
Bible, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Bible
Publishers, 1985.
Brown, Fancis, dkk., The New
Brown-Driver-Briggs-Gesenius Hebrew and English Lexicon,
Peabody, Massachusetts: Hendrickson
Publishers, 1979.
Djamari, Agama dalam Perspektif
Sosiologi, Bandung: CV. Alfabeta, 1993.
Hendropuspito, D., Sosiologi,
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia/Kanisius, 1983.
Hidayat, Komaruddin dan Muhammad
Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perennial, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Majid, Abd., Tantangan dan Harapan
Umat Islam di Era Globalisasi, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000.
30
Moeliono, Anton M. dkk., Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2. Jakarta: Balai Pustaka,
1989.
Ries, Julien, The Origins of Religions,
Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Comapany, 1994.
Thayer, Joseph H., Thayer’s
Greek-English Lexicon of the New Testament, Cet. Ke-20. Grand
Rapids, Michigan: Baker Book Hous,
1992.
Urbaningrum, Anas., Menuju Masyarakat
Madani Pilar dan Agenda Reformasi, Cet. Ke-2.
Jakarta: Yarsif Watampone, 1999.
Strong, James, The Exhaustive
Concordance of the Bible, McLean, Virginia: MacDonald
Publishing Company, n.d.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar